Senin, 08 Juni 2015

UNIDA sampai ke Kalimantan Barat




Penelitian merupakan salah satu pengamalan tri dharma perguruan tinggi. Sehingga sebagai mahasiswa sudah seharusnya melakukan penelitian sebagai kaum intelektual yang bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Universitas Djuanda Bogor sebagai kampus swasta di Bogor yang mempunyai predikat madya dalam bidang penelitian, tentu menjadi nilai lebih tersendiri bagi insan akademika Universitas Djuanda. Salah satu mahasiswa Universitas Djuanda yang melakukan penelitian adalah Berry Sastrawan yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Mahasiswa yang akrab di panggil Berry ini melakukan penelitian di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu, 500 Kilometer lebih dari Kota Pontianak dan sekitar tiga jam lagi ke tapal batas Indonesia-Malaysia. Namun, dengan jauhnya penelitian tersebut tidak mematahkan semangat peneliti untuk tetap terus meneliti hingga usai selama dua pekan di lokasi penelitian yang dimulai pada tanggal 27 April hingga 11 Mei 2015. Berry sebagai Enumerator dalam penelitian Ibu Dr. Rita Rahmawati ini meneliti mengenai Strategi Adaptasi Masyarakat Lokal
“Alhamdulillah penelitian ini merupakan penelitian saya terjauh yang pernah saya alami, sebelumnya saya meneliti di masyarakat Adat Suku Sunda di Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi kemudian selama 2 pekan saya berada di Suku Dayak Iban Dusun Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat”. Papar Berry Sastrawan yang sekarang ini sudah lulus dan mengikuti Wisuda ke-32.
“ini merupakan berkat Ibu Dr. Rita Rahmawati yang sudah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada saya sebagai enumerator dalam penelitiannya, saya sangat berterima kasih kepada beliau.” Lanjut Berry.
Berry tidak hanya sendirian yang melakukan observasi penelitian awal ke Dayak Iban Sungai Utik. Berry ditemani oleh salah satu temannya bernama Sadam Husen salah satu mahasiswa FISIP UNIDA jurusan Administrasi Negara.
Ketertarikan meneliti masyarakat Dayak Iban, menurut Ibu Dr. Rita Rahmawati karena pertama, dusun ini merupakan lokasi cagar budaya, namun disisi lain kawasan ini termasuk kawasan hutan hak pengusahaan hutan (HPH) atau kawasan izin usaha pemenfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Kedua, Dusun ini dihuni oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan yang sudah mendapatkan sertifikat Ecolabeling dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI).
Masyarakat ini merupakan salah satu masyarakat Dayak yang menolak pengusaha-pengusaha yang ingin membuat perusahaan perkebunan di sekitar hutan adatnya, mereka mengetahui dampaknya ketika hutan adat mereka dijadikan perkebunan, maka lingkungan sekitar akan tercemar dan rusak. Memang menggiurkan untuk masyarakat Dayak melihat keuntungan dari adanya perkebunan, akan tetapi untuk anak cucu tidak akan merasakan lagi bagaimana kejernihan air sungai, mengenal berbagai hewan dan tumbuhan yang ada di hutan. Selain itu, mereka juga mendapatkan cerita pengalaman dari dusun sebelahnya, dampak ketika mengizinkan pengusaha untuk membuat perkebunan di hutan adatnya, mereka mendapat keuntungan sementara, namun kerugian selamanya, karena kehilangan akses akan hutannya. Sehingga, dari usaha penolakan-penolakan pegusaha yang datang untuk membuat perkebunan kepada masyarakat Dayak Sungai Utik, masyakat ini mendapat penghargaan dari Pemerintah Nasional dan PPB yaitu, masyarakat adat yang mampu melestarikan hutan secara mandiri. Semenjak itu, banyak yang berkunjung ke Sungai Utik, baik dari LSM, akademisi untuk melakukan penelitian dan pejabat-pejabat seperti Menteri Kehutanan, Gubernur Kalbar, Bupati dan pejabat lain sudah pernah menginjakan kakinya di Sungai Utik ini.
Masyarakat Dayak Iban memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah rumah yang khas yaitu rumah betang dengan panjang 200 meter dan lebar 12 meter yang terbagi menjadi 28 pintu atau bilik, dengan jumlah masyarakat sekitar 322 jiwa. Rumah tersebut terbuat dari kayu yang memiliki kualitas kayu terbaik yang dibangun sejak 1972 dan sekarang oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menjadi Cagar Budaya pada tahun 2013. Selain itu, adanya tarian khas masyakat Dayak, kerajinan anyaman membuat tikar, gelang, tas anyaman, ritual-ritual seperti gawai atau hari perayaan panen beras, ritual ketika ada yang sakit, dan ritual lannya.
Walaupun kebanyakan masyarakat Dayak adalah berkepercayaan Animisme, dan adanya pandangan negatif mengenai masyarakat Dayak yang mempunyai karakter tempramental, ketika berhadapan dengan tamu, mereka sangat terbuka dan ramah, masyarakat selalu mengajak tamu untuk mengikuti setiap agenda masyarakat seperti gotong royong membersihkan dan memperbaiki aliran pipa air yang ada di hulu sungai, membersihkan halaman, bermusyawarah dan kegitan gotong royong lainnya.
Ketika pertama kali datang, tamu akan melihat banyak anjing di teras dalam yang disebut Ruai dan bau kayu yang khas, kemudian akan di berikan tuak yang dituangkan sedikit dalam gelas, kemudian ditumpahkan ke tanah sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon keselamatan, kemudian gelas tersebut akan di isi segelas penuh tuak, jika anda seorang muslim, maka anda bisa menolaknya dengan menyentuh sedikit gelasnya dan mengatakan melepus sebagai penolakan secara halus dan sopan.

Potensi-potensi pariwisata di Dusun Sungai Utik ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat. Sehingga bisa menambah penhasilan masyarakat selain bertani. Namun, fasilitas dan prasarana seperti listrik dan sinyal belum ada sama sekali. Ini merupakan menjadi tugas pemerintah sebagai inkubator dan fasilitator bagi masyarakat yang membutuhkan peran pemerintah dalam pengembangan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (berry)

HIDUP MAHASISWA !