Kamis, 27 Oktober 2016

6 SKALA PRIORITAS, 6 SKALA TAK TUNTAS

Oleh: Berry Sastrawan
 
Walikota Bogor, Dr. Bima Arya yang sudah memimpin Kota Bogor selama 2 Tahun 6 Bulan 21 Hari terhitung dari 07 April 2014 hingga 28 Oktober 2016 ini. Kepemimpinan seorang Kepala Daerah sedikit banyak berpengaruh signifikan dalam keberhasilan dalam Kinerja Pembangunan Daerahnya, sehingga untuk Konteks Kota Bogor, keberhasilan Walikota Bogor bisa dilihat dari bagaimana Progress dari 6 (enam) Skala Prioritas Pembangunan Kota Bogor yaitu (1) Penataan Transportasi; (2) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL); (3) Pengelolaan Sampah; (4) Perizinan; (5) Pengentasan Kemiskinan; dan (6)Reformasi Birokrasi. Menjadi pertanyaan Besar, lalu bagaimana progress keenam Skala Prioritas selama 2 tahun ke belakang ? pertanyaan ini menjadi  evaluasi bagi Walikota Bogor yang sedang ‘Demam’ Taman.
Pertama, Penataan Transportasi yang dilakukan Walikota Bogor di tahun pertama belum terlihat progress yang sangat signifikan, terlihat masih kebingungan menyelesaikan permasalahan kemacetan di Kota Bogor, ketika tahun kedua setelah dilantiknya Jokowi-JK menjadi Presiden dan Jokowi cukup sering berkantor di Istana Bogor, Bima Arya cukup sering dapat panggilan dari Presiden mengenai kemacetan dan PKL, barulah keluar kebijakan di tahun kedua mengenai Sistem Satu Arah (SSA) yang sebenarnya hanya mengalihkan kemacetan yang tadinya sekitar Istana dan Balai Kota menjadi di Jalan Otista sekitar Pasar, tentu yang jadi Korban adalah Wong Cilik. Bahkan Aplikasi Waze merilis hasil Surveynya bahwa Kota Bogor menjadi Kota untuk berkendara terburuk di Dunia.
Kedua, Penetaan PKL yang dilakukan oleh Walikota Bogor salah satunya adalah penataan di sekitar Stasiun, demi mengurai kemacetan di Jalan yang berhadapan dengan Stasiun dan jalan di depan Polresta Bogor, lagi-lagi walikota Bogor mengorbankan rakyat kecil dengan menertibkan para PKL tanpa tahu jelas relokasinya kemana. Dan kemacetan di stasiun hanya pengalihan kemacetan yaitu kemacetan dipindah setelah jembatan penyebrangan di Stasiun. Walikota menjanjikan adanya zona PKL dan dibentuknya Perda tentang PKL, tapi hingga sekarang belum ada kejelasan dalam tata ruang dan cenderung lamban dalam pembentukan perda tersebut, yang pasti Perda tersebut harus pro PKL, jangan sampai Perda ini masih membuka akses kepada para preman yang melakukan Pungli, atau hanya ingin mendapat simpati dari para PKL.
Ketiga, Permasalahan Sampah di Kota Bogor masih pelik, terlihat sekitar 150 ton atau setara 131 truk sampah yang dihasilkan warga Kota Bogor tidak terangkut setiap harinya. Sebagian sampah yang tidak terangkut tertibun di selokan, pasar, tempat pembuangan sampah liar atau dibuang ke sungai. Sehingga kinerja dalam hal persampahan ini juga masih belum terlihat signifikan.
Keempat, Perizinan di Kota Bogor salah satunya menjadi permasalahan yang diturunkan dari Kepemimpinan sebelumnya, Bima Arya berjanji untuk perizinan akan lebih ketat dan Bogor bukan untuk diJual, tapi pada kenyataannya Pemerintah Pusat justru menginginkan membuka seluas-luasnya bagi investor untuk berinvestasi dan pemerintah pusat akan mencabut perda jika menghambat atau mempersulit investor, maka bisa rakyat Bogor lihat bangunan-bangunan seperti hotel, restoran, rumah sakit swasta dan Mall tetap dibangun untuk menambah (Pendapatan Asli daerah (PAD) dan menambah kemacetan pastinya.
Kelima, Pengentasan Kemiskinan yang sedikit terlupakan oleh Walikota Bogor, perhatian beliau seolah-olah habis untuk membangun taman dan taman yang notabene dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Walikota Bogor sendiri menyadari akan hal ini ketika kepemimpinan di tahun kedua, ketika cukup banyak kalangan yang mengkritiknya mengenai kurang diperhatikannya kaum marjinal ini. Data terakhir, jumlah warga miskin  di Kota Bogor mencapai 42.000 keluarga sangat miskin (KSM) dari total penduduk 1,02 juta jiwa yang tersebar di 67 kelurahan. Angka kemiskinan Kota Bogor turun menjadi sekitar 6,9 persen, dari sebelumnya 8,4 persen. Seharusnya dengan anggaran Rp. 185 M. Pemerintah Kota lebih berani lagi pasang target lebih besar untuk menurunkan angka kemiskinan di Kota Bogor. Kemudian permasalahan kemiskinan bukan hanya sekedar naik turunnya angka kemiskinan atau menganggap yang miskin sedikit, tapi bagaimana perhatian, pendampingan dan edukasi yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen lain untuk konsen dan fokus untuk mengentaskan kemiskinan.
Keenam, Reformasi Birokrasi yang dilakukan Walikota Bogor salah satunya dengan rotasi dan mutasi para pejabat Birokrat Kota Bogor, rotasi dan mutasi ini dilakukan setelah adanya Rapor Merah dari BPK RI dari empat Dinas yaitu Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Unit Layanan Pengadaan, Bidang Pendapatan dan Dinas Pendidikan Kota Bogor. Bahkan terkhir Dinas Koperasi dan UMKM terjerat kasus angkahong dan menjadi Terdakwa dalam kasus tersebut. Ini menjadi pembelajaran tersendiri bagi walikota, yaitu terlihat dari lemahnya pengendalian dan kontrol dari Walikota, seharusnya Walikota sudah bisa mencegah hal tersebut terjadi jika kontrol dan pengendalian berjalan dengan baik. Sehingga kinerja yang dilakukan lebih baik mencegah sebelum mengobati, bukan baru ramai di media baru bertindak, sehingga terlihat pencitraan oleh masyarakatnya.