Penelitian
merupakan salah satu pengamalan tri dharma perguruan tinggi. Sehingga sebagai
mahasiswa sudah seharusnya melakukan penelitian sebagai kaum intelektual yang
bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.
Universitas Djuanda Bogor sebagai kampus swasta di Bogor yang mempunyai
predikat madya dalam bidang penelitian, tentu menjadi nilai lebih tersendiri
bagi insan akademika Universitas Djuanda. Salah satu mahasiswa Universitas
Djuanda yang melakukan penelitian adalah Berry Sastrawan yang berasal dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Administrasi
Negara. Mahasiswa yang akrab di panggil Berry ini melakukan penelitian di
Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu, 500 Kilometer lebih dari
Kota Pontianak dan sekitar tiga jam lagi ke tapal batas Indonesia-Malaysia.
Namun, dengan jauhnya penelitian tersebut tidak mematahkan semangat peneliti
untuk tetap terus meneliti hingga usai selama dua pekan di lokasi penelitian
yang dimulai pada tanggal 27 April hingga 11 Mei 2015. Berry sebagai Enumerator
dalam penelitian Ibu Dr. Rita Rahmawati ini meneliti mengenai Strategi Adaptasi
Masyarakat Lokal
“Alhamdulillah
penelitian ini merupakan penelitian saya terjauh yang pernah saya alami,
sebelumnya saya meneliti di masyarakat Adat Suku Sunda di Sinar Resmi Kabupaten
Sukabumi kemudian selama 2 pekan saya berada di Suku Dayak Iban Dusun Sungai
Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat”. Papar Berry Sastrawan
yang sekarang ini sudah lulus dan mengikuti Wisuda ke-32.
“ini
merupakan berkat Ibu Dr. Rita Rahmawati yang sudah memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada saya sebagai enumerator dalam penelitiannya, saya
sangat berterima kasih kepada beliau.” Lanjut Berry.
Berry
tidak hanya sendirian yang melakukan observasi penelitian awal ke Dayak Iban
Sungai Utik. Berry ditemani oleh salah satu temannya bernama Sadam Husen salah
satu mahasiswa FISIP UNIDA jurusan Administrasi Negara.
Ketertarikan
meneliti masyarakat Dayak Iban, menurut Ibu Dr. Rita Rahmawati karena pertama,
dusun ini merupakan lokasi cagar budaya, namun disisi lain kawasan ini termasuk
kawasan hutan hak pengusahaan hutan (HPH) atau kawasan izin usaha pemenfaatan
hasil hutan kayu (IUPHHK). Kedua, Dusun ini dihuni oleh Masyarakat Dayak Iban
Sungai Utik yang memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan yang sudah
mendapatkan sertifikat Ecolabeling dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI).
Masyarakat
ini merupakan salah satu masyarakat Dayak yang menolak pengusaha-pengusaha yang
ingin membuat perusahaan perkebunan di sekitar hutan adatnya, mereka mengetahui
dampaknya ketika hutan adat mereka dijadikan perkebunan, maka lingkungan
sekitar akan tercemar dan rusak. Memang menggiurkan untuk masyarakat Dayak melihat
keuntungan dari adanya perkebunan, akan tetapi untuk anak cucu tidak akan
merasakan lagi bagaimana kejernihan air sungai, mengenal berbagai hewan dan
tumbuhan yang ada di hutan. Selain itu, mereka juga mendapatkan cerita
pengalaman dari dusun sebelahnya, dampak ketika mengizinkan pengusaha untuk
membuat perkebunan di hutan adatnya, mereka mendapat keuntungan sementara,
namun kerugian selamanya, karena kehilangan akses akan hutannya. Sehingga, dari
usaha penolakan-penolakan pegusaha yang datang untuk membuat perkebunan kepada
masyarakat Dayak Sungai Utik, masyakat ini mendapat penghargaan dari Pemerintah
Nasional dan PPB yaitu, masyarakat adat yang mampu melestarikan hutan secara
mandiri. Semenjak itu, banyak yang berkunjung ke Sungai Utik, baik dari LSM,
akademisi untuk melakukan penelitian dan pejabat-pejabat seperti Menteri
Kehutanan, Gubernur Kalbar, Bupati dan pejabat lain sudah pernah menginjakan
kakinya di Sungai Utik ini.
Masyarakat
Dayak Iban memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah rumah yang khas
yaitu rumah betang dengan panjang 200 meter dan lebar 12 meter yang terbagi
menjadi 28 pintu atau bilik, dengan jumlah masyarakat sekitar 322 jiwa. Rumah
tersebut terbuat dari kayu yang memiliki kualitas kayu terbaik yang dibangun
sejak 1972 dan sekarang oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menjadi Cagar
Budaya pada tahun 2013. Selain itu, adanya tarian khas masyakat Dayak, kerajinan
anyaman membuat tikar, gelang, tas anyaman, ritual-ritual seperti gawai atau hari perayaan panen beras,
ritual ketika ada yang sakit, dan ritual lannya.
Walaupun
kebanyakan masyarakat Dayak adalah berkepercayaan Animisme, dan adanya
pandangan negatif mengenai masyarakat Dayak yang mempunyai karakter
tempramental, ketika berhadapan dengan tamu, mereka sangat terbuka dan ramah,
masyarakat selalu mengajak tamu untuk mengikuti setiap agenda masyarakat
seperti gotong royong membersihkan dan memperbaiki aliran pipa air yang ada di
hulu sungai, membersihkan halaman, bermusyawarah dan kegitan gotong royong
lainnya.
Ketika
pertama kali datang, tamu akan melihat banyak anjing di teras dalam yang
disebut Ruai dan bau kayu yang khas,
kemudian akan di berikan tuak yang dituangkan sedikit dalam gelas, kemudian
ditumpahkan ke tanah sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon keselamatan,
kemudian gelas tersebut akan di isi segelas penuh tuak, jika anda seorang
muslim, maka anda bisa menolaknya dengan menyentuh sedikit gelasnya dan
mengatakan melepus sebagai penolakan
secara halus dan sopan.
Potensi-potensi
pariwisata di Dusun Sungai Utik ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan
memberdayakan masyarakat. Sehingga bisa menambah penhasilan masyarakat selain
bertani. Namun, fasilitas dan prasarana seperti listrik dan sinyal belum ada
sama sekali. Ini merupakan menjadi tugas pemerintah sebagai inkubator dan
fasilitator bagi masyarakat yang membutuhkan peran pemerintah dalam
pengembangan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (berry)
HIDUP MAHASISWA !