Kamis, 27 Oktober 2016

6 SKALA PRIORITAS, 6 SKALA TAK TUNTAS

Oleh: Berry Sastrawan
 
Walikota Bogor, Dr. Bima Arya yang sudah memimpin Kota Bogor selama 2 Tahun 6 Bulan 21 Hari terhitung dari 07 April 2014 hingga 28 Oktober 2016 ini. Kepemimpinan seorang Kepala Daerah sedikit banyak berpengaruh signifikan dalam keberhasilan dalam Kinerja Pembangunan Daerahnya, sehingga untuk Konteks Kota Bogor, keberhasilan Walikota Bogor bisa dilihat dari bagaimana Progress dari 6 (enam) Skala Prioritas Pembangunan Kota Bogor yaitu (1) Penataan Transportasi; (2) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL); (3) Pengelolaan Sampah; (4) Perizinan; (5) Pengentasan Kemiskinan; dan (6)Reformasi Birokrasi. Menjadi pertanyaan Besar, lalu bagaimana progress keenam Skala Prioritas selama 2 tahun ke belakang ? pertanyaan ini menjadi  evaluasi bagi Walikota Bogor yang sedang ‘Demam’ Taman.
Pertama, Penataan Transportasi yang dilakukan Walikota Bogor di tahun pertama belum terlihat progress yang sangat signifikan, terlihat masih kebingungan menyelesaikan permasalahan kemacetan di Kota Bogor, ketika tahun kedua setelah dilantiknya Jokowi-JK menjadi Presiden dan Jokowi cukup sering berkantor di Istana Bogor, Bima Arya cukup sering dapat panggilan dari Presiden mengenai kemacetan dan PKL, barulah keluar kebijakan di tahun kedua mengenai Sistem Satu Arah (SSA) yang sebenarnya hanya mengalihkan kemacetan yang tadinya sekitar Istana dan Balai Kota menjadi di Jalan Otista sekitar Pasar, tentu yang jadi Korban adalah Wong Cilik. Bahkan Aplikasi Waze merilis hasil Surveynya bahwa Kota Bogor menjadi Kota untuk berkendara terburuk di Dunia.
Kedua, Penetaan PKL yang dilakukan oleh Walikota Bogor salah satunya adalah penataan di sekitar Stasiun, demi mengurai kemacetan di Jalan yang berhadapan dengan Stasiun dan jalan di depan Polresta Bogor, lagi-lagi walikota Bogor mengorbankan rakyat kecil dengan menertibkan para PKL tanpa tahu jelas relokasinya kemana. Dan kemacetan di stasiun hanya pengalihan kemacetan yaitu kemacetan dipindah setelah jembatan penyebrangan di Stasiun. Walikota menjanjikan adanya zona PKL dan dibentuknya Perda tentang PKL, tapi hingga sekarang belum ada kejelasan dalam tata ruang dan cenderung lamban dalam pembentukan perda tersebut, yang pasti Perda tersebut harus pro PKL, jangan sampai Perda ini masih membuka akses kepada para preman yang melakukan Pungli, atau hanya ingin mendapat simpati dari para PKL.
Ketiga, Permasalahan Sampah di Kota Bogor masih pelik, terlihat sekitar 150 ton atau setara 131 truk sampah yang dihasilkan warga Kota Bogor tidak terangkut setiap harinya. Sebagian sampah yang tidak terangkut tertibun di selokan, pasar, tempat pembuangan sampah liar atau dibuang ke sungai. Sehingga kinerja dalam hal persampahan ini juga masih belum terlihat signifikan.
Keempat, Perizinan di Kota Bogor salah satunya menjadi permasalahan yang diturunkan dari Kepemimpinan sebelumnya, Bima Arya berjanji untuk perizinan akan lebih ketat dan Bogor bukan untuk diJual, tapi pada kenyataannya Pemerintah Pusat justru menginginkan membuka seluas-luasnya bagi investor untuk berinvestasi dan pemerintah pusat akan mencabut perda jika menghambat atau mempersulit investor, maka bisa rakyat Bogor lihat bangunan-bangunan seperti hotel, restoran, rumah sakit swasta dan Mall tetap dibangun untuk menambah (Pendapatan Asli daerah (PAD) dan menambah kemacetan pastinya.
Kelima, Pengentasan Kemiskinan yang sedikit terlupakan oleh Walikota Bogor, perhatian beliau seolah-olah habis untuk membangun taman dan taman yang notabene dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Walikota Bogor sendiri menyadari akan hal ini ketika kepemimpinan di tahun kedua, ketika cukup banyak kalangan yang mengkritiknya mengenai kurang diperhatikannya kaum marjinal ini. Data terakhir, jumlah warga miskin  di Kota Bogor mencapai 42.000 keluarga sangat miskin (KSM) dari total penduduk 1,02 juta jiwa yang tersebar di 67 kelurahan. Angka kemiskinan Kota Bogor turun menjadi sekitar 6,9 persen, dari sebelumnya 8,4 persen. Seharusnya dengan anggaran Rp. 185 M. Pemerintah Kota lebih berani lagi pasang target lebih besar untuk menurunkan angka kemiskinan di Kota Bogor. Kemudian permasalahan kemiskinan bukan hanya sekedar naik turunnya angka kemiskinan atau menganggap yang miskin sedikit, tapi bagaimana perhatian, pendampingan dan edukasi yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen lain untuk konsen dan fokus untuk mengentaskan kemiskinan.
Keenam, Reformasi Birokrasi yang dilakukan Walikota Bogor salah satunya dengan rotasi dan mutasi para pejabat Birokrat Kota Bogor, rotasi dan mutasi ini dilakukan setelah adanya Rapor Merah dari BPK RI dari empat Dinas yaitu Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Unit Layanan Pengadaan, Bidang Pendapatan dan Dinas Pendidikan Kota Bogor. Bahkan terkhir Dinas Koperasi dan UMKM terjerat kasus angkahong dan menjadi Terdakwa dalam kasus tersebut. Ini menjadi pembelajaran tersendiri bagi walikota, yaitu terlihat dari lemahnya pengendalian dan kontrol dari Walikota, seharusnya Walikota sudah bisa mencegah hal tersebut terjadi jika kontrol dan pengendalian berjalan dengan baik. Sehingga kinerja yang dilakukan lebih baik mencegah sebelum mengobati, bukan baru ramai di media baru bertindak, sehingga terlihat pencitraan oleh masyarakatnya.

Senin, 08 Juni 2015

UNIDA sampai ke Kalimantan Barat




Penelitian merupakan salah satu pengamalan tri dharma perguruan tinggi. Sehingga sebagai mahasiswa sudah seharusnya melakukan penelitian sebagai kaum intelektual yang bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Universitas Djuanda Bogor sebagai kampus swasta di Bogor yang mempunyai predikat madya dalam bidang penelitian, tentu menjadi nilai lebih tersendiri bagi insan akademika Universitas Djuanda. Salah satu mahasiswa Universitas Djuanda yang melakukan penelitian adalah Berry Sastrawan yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Mahasiswa yang akrab di panggil Berry ini melakukan penelitian di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu, 500 Kilometer lebih dari Kota Pontianak dan sekitar tiga jam lagi ke tapal batas Indonesia-Malaysia. Namun, dengan jauhnya penelitian tersebut tidak mematahkan semangat peneliti untuk tetap terus meneliti hingga usai selama dua pekan di lokasi penelitian yang dimulai pada tanggal 27 April hingga 11 Mei 2015. Berry sebagai Enumerator dalam penelitian Ibu Dr. Rita Rahmawati ini meneliti mengenai Strategi Adaptasi Masyarakat Lokal
“Alhamdulillah penelitian ini merupakan penelitian saya terjauh yang pernah saya alami, sebelumnya saya meneliti di masyarakat Adat Suku Sunda di Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi kemudian selama 2 pekan saya berada di Suku Dayak Iban Dusun Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat”. Papar Berry Sastrawan yang sekarang ini sudah lulus dan mengikuti Wisuda ke-32.
“ini merupakan berkat Ibu Dr. Rita Rahmawati yang sudah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada saya sebagai enumerator dalam penelitiannya, saya sangat berterima kasih kepada beliau.” Lanjut Berry.
Berry tidak hanya sendirian yang melakukan observasi penelitian awal ke Dayak Iban Sungai Utik. Berry ditemani oleh salah satu temannya bernama Sadam Husen salah satu mahasiswa FISIP UNIDA jurusan Administrasi Negara.
Ketertarikan meneliti masyarakat Dayak Iban, menurut Ibu Dr. Rita Rahmawati karena pertama, dusun ini merupakan lokasi cagar budaya, namun disisi lain kawasan ini termasuk kawasan hutan hak pengusahaan hutan (HPH) atau kawasan izin usaha pemenfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Kedua, Dusun ini dihuni oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan yang sudah mendapatkan sertifikat Ecolabeling dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI).
Masyarakat ini merupakan salah satu masyarakat Dayak yang menolak pengusaha-pengusaha yang ingin membuat perusahaan perkebunan di sekitar hutan adatnya, mereka mengetahui dampaknya ketika hutan adat mereka dijadikan perkebunan, maka lingkungan sekitar akan tercemar dan rusak. Memang menggiurkan untuk masyarakat Dayak melihat keuntungan dari adanya perkebunan, akan tetapi untuk anak cucu tidak akan merasakan lagi bagaimana kejernihan air sungai, mengenal berbagai hewan dan tumbuhan yang ada di hutan. Selain itu, mereka juga mendapatkan cerita pengalaman dari dusun sebelahnya, dampak ketika mengizinkan pengusaha untuk membuat perkebunan di hutan adatnya, mereka mendapat keuntungan sementara, namun kerugian selamanya, karena kehilangan akses akan hutannya. Sehingga, dari usaha penolakan-penolakan pegusaha yang datang untuk membuat perkebunan kepada masyarakat Dayak Sungai Utik, masyakat ini mendapat penghargaan dari Pemerintah Nasional dan PPB yaitu, masyarakat adat yang mampu melestarikan hutan secara mandiri. Semenjak itu, banyak yang berkunjung ke Sungai Utik, baik dari LSM, akademisi untuk melakukan penelitian dan pejabat-pejabat seperti Menteri Kehutanan, Gubernur Kalbar, Bupati dan pejabat lain sudah pernah menginjakan kakinya di Sungai Utik ini.
Masyarakat Dayak Iban memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah rumah yang khas yaitu rumah betang dengan panjang 200 meter dan lebar 12 meter yang terbagi menjadi 28 pintu atau bilik, dengan jumlah masyarakat sekitar 322 jiwa. Rumah tersebut terbuat dari kayu yang memiliki kualitas kayu terbaik yang dibangun sejak 1972 dan sekarang oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menjadi Cagar Budaya pada tahun 2013. Selain itu, adanya tarian khas masyakat Dayak, kerajinan anyaman membuat tikar, gelang, tas anyaman, ritual-ritual seperti gawai atau hari perayaan panen beras, ritual ketika ada yang sakit, dan ritual lannya.
Walaupun kebanyakan masyarakat Dayak adalah berkepercayaan Animisme, dan adanya pandangan negatif mengenai masyarakat Dayak yang mempunyai karakter tempramental, ketika berhadapan dengan tamu, mereka sangat terbuka dan ramah, masyarakat selalu mengajak tamu untuk mengikuti setiap agenda masyarakat seperti gotong royong membersihkan dan memperbaiki aliran pipa air yang ada di hulu sungai, membersihkan halaman, bermusyawarah dan kegitan gotong royong lainnya.
Ketika pertama kali datang, tamu akan melihat banyak anjing di teras dalam yang disebut Ruai dan bau kayu yang khas, kemudian akan di berikan tuak yang dituangkan sedikit dalam gelas, kemudian ditumpahkan ke tanah sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon keselamatan, kemudian gelas tersebut akan di isi segelas penuh tuak, jika anda seorang muslim, maka anda bisa menolaknya dengan menyentuh sedikit gelasnya dan mengatakan melepus sebagai penolakan secara halus dan sopan.

Potensi-potensi pariwisata di Dusun Sungai Utik ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat. Sehingga bisa menambah penhasilan masyarakat selain bertani. Namun, fasilitas dan prasarana seperti listrik dan sinyal belum ada sama sekali. Ini merupakan menjadi tugas pemerintah sebagai inkubator dan fasilitator bagi masyarakat yang membutuhkan peran pemerintah dalam pengembangan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (berry)

HIDUP MAHASISWA !

Kamis, 04 Desember 2014

KINERJA PELAYANAN E-KTP



KINERJA PELAYANAN E-KTP

PAPER

Disusun untuk Ujian Tengah Semester Ganjil
Pada Mata Kuliah Kewirausahaan Sektor Publik

Oleh

BERRY SASTRAWAN
D.1110150











PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2014




1.1  Kinerja Pelayanan e-KTP
Pelayanan Administrasi seperti pelayanan permohonan rekomendasi, surat izin, akte, perizinan, pembuatan KTP dan pelayanan lainnya beberapa instansi masih kurang baik karena kinerja para birokrat yang cenderung lamban dan kurang prima sehingga membuat masyarakat kurang puas dengan pelayanan Publik yang dilaksanakan oleh pemerintah, apalagi adanya diskriminasi dalam pelayanan seperti adanya gratifikasi dalam layanan sehingga pelayanan yang bergratifikasi dan mempunyai kedekatan akan dilayani lebih dulu dan lebih cepat, berbeda dengan masyarakat yang datang ke tempat pelayanan publik tanpa membawa gratifikasi dan tidak mempunyai kedekatan dengan pegawai birokrat dalam pelayanan tersebut, maka layanannyapun lamban dan kurang prima.
Berbeda halnya ketika masyarakat berada dalam pelayanan publik di swasta katakanlah di Perbankan, ketika kita akan masuk pintu saja sudah ada yang membukakan pintu oleh penjaga keamanan dengan sambutan sapaan dan senyuman, dengan ruangan yang sejuk, tempat duduk yang nyaman dan bersih dan diberikan kartu antrian dengan layanan yang sama.
Dari kedua layanan, baik pelayanan publik di pemerintah ataupun swasta, terdapat perbedaab yang cukup signifikan, walaupun tidak semua seperti hal demikian. Akan tetapi kita bisa mengambil pelajaran bahwa keduanya sama-sama berorientasi pada layanan publik yang memberikan kepuasan kepada pelanggan. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa pelayanan publik di swasta lebih baik dari pada pelayanan publik dalam pemerintahan, seperti imbalan gaji yang lebih besar daripada pegawai pemerintah, kemudian kultur organisasi yang berbeda, usia yang sudah kurang produktif, motivasi kerja yang lemah, dan masih banyak faktor lainnya. Maka dari itu, bukanlah suatu ketidakmungkinan jika pelayanan publik dalam pemerintahan tidak bisa seperti pelayanan publik yang ada dalam perbankan.
Salah satu pelayanan yang menarik untuk dianalisis adalah mengenai kebijakan pemerintah dalam undang-undang Perpres No 35 tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No.26 tahun 2009 mengenai diterapkannya KTP berbasis nomor induk kependudukan (NIK) yang di sebut dengan E-KTP.
Adapun E-KTP atau KTP Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Penduduk hanya di perbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum nomor induk kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup, Nomor NIK yang ada di E-KTP nantinya akan di jadikan dasar dalam penerbitan paspor,Surat Izin mengemudi (SIM), Nomor pokok wajib pajak (NPWP), polis asuransi, sertifikat atas tanah dan penerbitan dokumen identitas lain.
Di Indonesia sendiri pembuatan KTP sebelumnya telah di kenal masyarakat dimana dalam hal pelayanannya yang kurang efisien dan sangat lamban,juga terkenal menjadi ajang untuk pungutan liar sehingga masyarakat menjadi kecewa dengan pelayanan publik pemerintah.
Oleh karena itu, dengan adanya Program E-KTP ini juga ditujukan untuk meningkatkan kinerja pelayanan pemerintahan yang selama ini terkenal dengan berbagai kecurangan oknum oknum dalam prosesnya agar tidak ada lagi kecurangan-kecurangan yang dilakukan karena dalam prosesnya E-KTP menggunakan basis data dan teknologi yang canggih.
Dimana praktek pungutan liar tidak dapat digunakan lagi. Cara ini juga digunakan pemerintahan dalam meningkatkan kinerja pelayanan pemerintahan daerah yang dahulu terkesan lamban dan jika ingin proses cepat harus bersedia untuk mengeluarkan uang sebagai ganti kinerja pegawai yang membuatnya. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah lambatnya proses pengolahan e-KTP yang memakan waktu berbulan-bulan dan juga masih banyaknya keluhan-keluhan mengenai kinerja aparatur pemerintahan karena adanya beberapa alasan, layanan terkesan lambat, perlakuan diskriminatif dan kurang transparansi sehingga kesan yang didapat semua kinerja yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terkesan buruk dan mengecewakan hanya karena oknum-oknum yang hanya mencari keuntungan.

1.2  Hasil Data dan Informasi Kinerja Pelayanan e-KTP di Kantor Kecamatan Samarinda Ulu
Penulis mengambil hasil data penelitian dari e-journal dari Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman bernama Rezza Perdana Suryana Putra. Menjelaskan hasil penelitian Kinerja Pelayanan E-KTP Berdasarkan 5 (lima) indikator yaitu produktivitas dalam layanan, sarana dan prasarana pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas yang di teliti untuk mengukur kinerja pelayanan e-KTP dikantor kecamatan samarinda ulu yang penulis teliti adalah sebagai berikut :
a.       Produktivitas
Untuk indikator pertama mengenai produktivitas penulis memberikan 3 pertanyaan yang masing-masing mendapat hasil persentase sebagai berikut yaitu :
1.      Tanggapan masyarakat mengenai sikap yang diberikan pegawai saat melayani pembuatan e-KTP, dari 60 orang responden 68% menjawab baik.
2.      Tanggapan masyarakat mengenai tata cara pelayanan yang dilakukan oleh pegawai di Kecamatan Samarinda Ulu dari 60 orang responden sebanyak 63% menjawab baik.
3.      Tanggapan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh pegawai apakah sudah cukup produktif bagi masyarakat, dari 60 orang responden sebanyak 61% baik.
b.      Kualitas Pelayanan
Untuk indikator kedua mengenai Kualitas pelayanan dari 3 pertanyaan yang diberikan didapat hasil persentase sebagai berikut:
1.      Tanggapan responden mengenai sarana pelayanan di Kantor Kecamatan Samarinda Ulu 43% menjawab kurang baik dari 60 orang responden.
2.      Tanggapan masyarakat mengenai waktu yang dijanjikan dalam proses pembuatan e-KTP dari 60 orang responden 59% menjawab kurang baik.
3.      Tanggapan responden mengenai transparasi dalam pelayanan e-KTP dari 60 orang responden sebanyak 61% menjawab baik.
c.       Responsivitas
Untuk indikator ketiga dalam kinerja mengenai responsivitas dari 3 pertanyaan yang diberikan didapatkan hasil presentase sebagai berikut:
1.      Tanggapan responden mengenai respon pegawai dalam memberikan pelayanan didapat hasil sebanyak 70% dari 60 orang responden menjawab baik.
2.      Tanggapan masyarakat mengenai kemampuan pegawai dalam mengenali kebutuhan masyarakat didapat hasil sebanyak 60% dari 60 orang responden menjawab baik.
3.      Tanggapan masyarakat mengenai priotitas pelayanan Kantor Kecamatan Samarinda Ulu didapat hasil 61% dari 60 orang responden menjawab baik.
d.      Responsibilitas
Untuk indikator keempat mengenai Responsibilitas dari 3 pertanyaan yang diberikan didapatkan hasil persentase sebagai berikut:
1.      Tanggapan responden mengenai kebijakan pelayanan di Kantor Kecamatan Samarinda Ulu didapat hasil sebanyak 63% dari 60 orang responden menjawab baik.
2.      Tanggapan responden Mengenai Prinsip-prinsip yang diterapkan didapat hasil sebanyak 67% dari 60 orang responden menjawab baik.
3.      Tanggapan responden mengenai kejelasan prosedur pelayanan yang diberikan didapat hasil sebesar 64% dari 60 orang responden menjawab baik.
e.       Akuntabilitas
Untuk indikator kelima mengenai akuntabilitas dari 3 pertanyaan yang diberikan didapatkan hasil persentase sebagai berikut:
1.      Tanggapan masyarakat mengenai keterbukaan pelayanan e-KTP di Kantor Kecamatan Samarinda Ulu didapat hasil persentase sebanyak 61% dari 60 orang responden menjawab baik.
2.      Tanggapan responden saat menerima pelayanan yang diberikan adalah baik didapat dari 64% jawaban dari 60 orang responden.
3.      Tanggapan masyarakat tentang kebijakan memenuhi kebutuhan masyarakat didapat hasil sebanyak 65% dari 60 orang responden menjawab baik.

1.3  Analisis Orientasi Kinerja Pelayanan e-KTP di Kantor Kecamatan Samarinda Ulu
Secara umum dalam pembuatan e-KTP, tentu ini merupakan jenis pelayanan yang berorientasi pada kepentingan pelanggan dalam hal ini masyarakat dan kepuasan masyarakat. Dari hasil penelitiannya bisa dianalisis bahwa dalam Kinerja pelayanan e-KTP yang kurang puas dalam pelayanannya hanyalah Kualitas dalam pelayanan yaitu masyarakat Kecamatan Samarinda Ulu belum puas karena hasil penelitian menunjukan jawaban kurang baik, hasil ini didapat karena sarana dan prasarana yang digunakan Kantor kecamatan Samarinda Ulu sedang dalam tahap perbaikan sehingga pelayanan e-KTP dilaksanakan di tempat seadanya yang terbilang kurang memadai sehingga masyarakat mengeluh dan menjawab kurang baik. Selain itu, untuk sarana dan prasarana yang ada di kecamatan kurang baik dimana saat itu proses pembuatan e-KTP di letakkan dalam sebuah ruang yang kurang nyaman yang terpaksa dilakukan karena gedung Kecamatan Samarinda Ulu sedang dalam tahap renovasi pembenahan gedung dan untuk waktu yang dijanjikan dalam proses pembuatan e-KTP hingga selesai tidak tepat waktu  adalah kendala yang terjadi diluar kuasa Kantor Kecamatan Samarinda Ulu karena proses pembuatan dan pencetakan e-KTP hanya di pusat pemerintahan yaitu di Jakarta. Sedangkan empat indikator lainnya seperti Produktivitas dalam pelayanan, responsivitas dalam layanan, reponsibilitas dan akuntabilitas di nilai cukup baik oleh masyarakat Kecamatan Samarinda Ulu.
Dalam penelitian ini belum ditemukan adanya bukti adanya gratifikasi dalam instansi tersebut ataupun pelayanan yang diskriminatif. Akan tetapi ditemukannya kurangnya ketepan waktu dalam pembuatannya yang terpusat di Jakarta.
Jika penilaian kinerja berdasarkan standar pelayanan ISO seperti di perbankan maka menurut penulis berasumsi belum tentu baik dan memuaskan karena penilaiannya lebih detail lagi.

1.4  Rekomendasi Kinerja Pelayanan e-KTP
a.       Menyediakan ruangan pelayanan yang lebih nyaman, seperti memakai kursi yang nyaman, ruangan memakai pendingin ruangan, bersih dan memakai nomor antrian untuk mengantisipasi adanya ketidakteraturan ketika banyak yang datang ke kantor kecamatan dan menghindari adanya diskriminasi dalam pelayanan.
b.      Pemerintah mulai merencanakan pelayanan dengan sistem online pada pelayanan pembuatan KTP, untuk membuat pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Keban, Yeremias.T, 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep,
Teori dan Isu, edisi kedua, Gava Media, Yogyakarta.
Santosa, Pandji, 2009, Administrasi Publik-Teori dan Aplikasi Good Governance,
PT. RefikaAditama, Bandung.
Masrin, Studi tentang Prosedur pelayanan e-KTP di Kantor Kecamatan Samarinda
Ulu, 2013
Dokumen:
Undang-undang No 32 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Perpres No 26 tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis NIK.
Sumber Internet:
http://ejournal.an.fisip-unmul.org diakses tanggal 25 November 2014