Jumat, 14 Februari 2014

MAKALAH PERILAKU ORGANISASI STUDI PERBANDINGAN KEKUASAAN DAN POLITIK PERSPEKTIF BARAT DENGAN PERSPEKTIF ISLAM



MAKALAH PERILAKU ORGANISASI
STUDI PERBANDINGAN KEKUASAAN DAN POLITIK PERSPEKTIF BARAT DENGAN PERSPEKTIF ISLAM







disusun oleh :
Berry Sastrawan
D. 11 10 150




PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2013

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu dalam menyelesaikan makalah Perilaku Organisasi yang berjudul “Studi Perbandingan Kekuasaan dan Politik Pespektif Barat dengan Perspektif Islam

            Dengan rendah hati penulis membuat makalah ini, mungkin masih jauh dari kesempurnaan. Dimana dalam penyusunan makalah ini penulis melakukannya penuh dengan kerja keras, dari mencari bahan materi, penyusunan, sampai peninjauan pustaka dari berbagai macam buku dan sumber-sumber yang lain, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan hal tersebut dijadikan motivasi dan evaluasi dalam membuat tulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di hari yang akan datang.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.







Bogor, 04 Januari 2014

          
                     

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
...............................
I
DAFTAR ISI
...............................
II
BAB I PENDAHULUAN
...............................
1
1.1.Latar Belakang Masalah
...............................

 1.2. Rumusan Masalah
...............................

 1.3. Tujuan
...............................

BAB II PEMBAHASAN
...............................

2.1. Definisi Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat
...............................

       2.1.1. Definisi Kekuasaan
...............................

       2.1.2. Definisi Politik


2.2. Definisi Kekuasaan dan Politik Perspektif Islam
...............................

       2.2.1. Definisi Kekuasaan
...............................

       2.2.2. Definisi Politik
...............................

2.3. Perbedaan Kekuasaan politik Perspektif Barat dengan
        Perspektif Islam
...............................

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
...............................

3.1. Kesimpulan
...............................

3.2. Saran
...............................

DAFTAR PUSTAKA
...............................



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Dunia tempat dimana semua makhluk hidup menghadapi masalah-masalah yang ada, khususnya manusia sebagai makhluk yang bisa memberdayakan sumber-sumber kehidupan yang ada di bumi, kemampuan bersosialisasi, kemampuan memimpin dan lain sebagainya.
Manusia-manusia saling berinteraksi, mengakibatkan adanya masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan. Maka dibutuhkan keefektifan dan pengaturan supaya tujuan manusia bisa tercapai, tentu yang mengatur itu bukanlah semua orang, tapi orang-orang yang terpilih yang mewakili semua orang. Itulah kita sebut dengan pemimpin.
Pemimpin mempunyai pengaruh terhadap orang-orang yang dipimpinnya, karena keputusan yang dikeluarkan berakibat kepada kepentingan yang orang-orang yang dipimpinnya, sehingga pemimpin tidak lepas dari wewenang dan kekuasaan yang diemban dalam diri seorang pemimpin.
Pemimpin-pemimpin besar telah menjadi inspirator bagi banyak orang dikagumi, dihormati dan dimuliakan, karena pengaruhnya terhadap orang banyak, dan tidak sedikit orang yang ingin mendapatkannya, akan tetapi dalam konteks sekarang dengan negara demokrasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat secara langsung maupun tidak langsung, sehingga kekuasaan dapat dipegang secara otoritatif oleh satu orang.
Konteks tersebut merupakan salah satu peristiwa politik, politik hanyalah sebuah alat untuk mencapai suatu tujuan yang hendak ingin dicapai seseorang dalam menggapai kekuasaan yang sah (otoritatif).
Sedangkan dalam pandangan islam, menganggap manusia merupakan makhluk yang harus menghamba kepada penciptanya secara vertikal dan menjadi pemimpin dalam memberdayakan bumi ini untuk kesejahteraannya dalam mendukung menghamba kepada Penciptanya dan memimpin manusia yang lain dalam kelompoknya untuk mencapai kebahagiaanya dalam hidup secara horisontal.
Islam memandang kekuasaan dan politik hanyalah sebuah cara atau alat dalam menegakkan kebenaran dan mencegah hal-hal yang buruk, karena islam bukan hanya sekedar agama tapi sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh yang didalamnya terdapat solusi-solusi permasalahan dalam kehidupan manusia.
Dari situ bisa kita liha perbedaan antara pandangan kekuasaan, politik dan pemimpin pandangan umum secara konvensional dengan pandangan Islam, sehingga penulis merasa tertarik untuk membuat karya tulis makalah berjudul “Studi Perbandingan Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat dengan Perspektif Islam”. Penulis memandang bahwa studi kepustakaan ini cukup urgen dengan melihat masyarakat Islam dan Barat masih tabu akan pandangan kekuasaan dari berbagai sudut pandang, salahsatunya sudut pandang agama.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kekuasaan dan Politik Perspektif  Barat ?
2.      Bagaimana Kekuasaan dan Poliik Perspektif Islam ?
3.      Apakah perbedaan Kekuasaan dan Politik pandangan Barat dengan Perspektif Islam?
1.3.Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana kekuasaan dan politik perspektif  Barat.
2.      Mengetahui bagaimana kekuasaan dan poliik perspektif Islam.
3.      Mengetahui sejauh apa perbedaan kekuasaan dan politik perspektif Barat dengan perspektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat
2.1.1.      Definisi Kekuasaan
Pelopor pertama yang mempergunakan istilah kekuasaan adalah sosiolog kenamaan Max Weber. Dia merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan (Henderson dan Talcott Parsons : Organizations Behavior ; 387).
Bierstedt mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan kekuatan. Kekuasaan adalah bagian yang mengisi jalinan kehidupan organisasi (Iain Mangham ; Power and Performance in Organizations”).
Menyelesaikan masalah memerlukan kekuatan. Setiap hari, manajer pada organisasi public dan swasta memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, dan dalam banyak kasus untuk memperkuat posisinya sendiri. Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menggunakan dan bereaksi pada kekuasaan sangat ditentukan oleh pengertiannya tentang kekuasaan, mengetahui bagaimana dan kapan menggunakannya, dan dapat mengantisipasi kemungkinan akibat-akibatnya.
Negara-negara demokrasi barat dalam masyarakat kapitalis percaya pada apa yang disebut kedaulatan rakyat. Selanjutnya, kekuasaan dalam komunisme adalah kekuasaan proletariat dengan mengabaikan kehendak mereka yang bukan proletariat dengan mengabaikan kehendak mereka yang bukan proletariat. Akhirnya, Facisme percaya akan kukuasaan negara yang bagi mereka merupakan tujuan itu sendiri, bukannya suatu cara untuk mencapai tujuan.
Konsep barat tentang kedaulatan tidak jelas dan kabur karena banyak aliran yang memberikan teorinya sendiri dengan sifat, luas, dan lokasi kekuasaan yang berbeda-beda. Disini perselisihan antara konsep monistik dan pluralistik tentang kekuasaan masih berlangsung. Selanjutnya, konsep mereka tentang kakuasaan (yaitu kedaulatan rakyat) juga menyesatkan, sebagian karena rakyat tidak dapat bertindak sebagai penguasa yang berdaulat, dan sebagian karena kedaulatan rakyat tidak dapat menjamin kesejahteraan rakyat. Terutama karena dalam kapitalisme kehendak rakyat tidak merupakan kehendak seluruh rakyat. Kemudian, kekuasaan dalam komunisme membingungkan karena dalam teori ini kekuasaan berarti kedaulatan rakyat, tapi dalam prakteknya menjadi kedaulatan proletariat yang menindas kebebasan berfikir dan hati nurani individu. Sedangkan konsep fasis tentang kedaulatan negara sedemikian abstrak, sehingga individu yang dihadapi segera kehilangan identitasnya.

·         Kekuasaan dan Pemegang Wewenang
Kekuasaan meliputi hubungan antara dua atau lebih orang. Robert Dahl, seorang pakar politik menangkap fokus yang hubungan yang penting ini ketika ia mendefinisikan kekuasaan sebagai “ A memiliki kekuasaan atas B berarti bahwa ia dapat memerintah B untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukan B”. kekuasaan harus diterapkan atau mempunyai potensi untuk diterapkan dalam hubungannya dengan orang atau kelompok yang lain.
Literatur membedakan antara kekuasaan dan wewenang. Max Weber menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan di antara dua konsep ini (Theory of Social Economic ; 1947). Dia percaya bahwa kekuasaan meliputi kekuatan dan paksaan. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan resmi yang dimiliki seseorang karena kedudukannya dalam organisasi. Wewenang mempunyai sifat sebagai berikut :
1.      Terdapat pada posisi seseorang. Individu mempunyai wewenang karena posisi yang ia pegang, bukan karena sifat pribadi yang khusus.
2.      Diterima oleh bawahan. Individu dalam posisi wewenang yang sah, menerapkan wewenang dan dapat melaksanakannya karena ia mempunyai hak yang sah.
3.      Kekuasaan digunakan secara vertical dan mengalir dari atas ke bawah dalam susunan sebuah organisasi.
Kekuasaan pertama sekali digambarkan dengan struktur organisasi (Jeffrey Pfeffer, Power in Organizations 1981). Pengaturan organisasi secara struktural membagi kebijaksanaan pengambilan keputusan pada berbagai kedudukan. Dengan demikian, struktur organisasi menciptakan kekuasaan formal dan wewenang dengan cara menentukan individu tertentu untuk melakukan perkerjaan dan membuat keputusan tertentu. John French dan Bertram Raven mengusulkan lima dasar kekuasaan antar pribadi (interpersonal), yakni :
a.       Kekuasaan Legitimasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi seseorang karena kedudukannya.
b.      Kekuasaan Imbalan, seseorang memperoleh kekuasaan dari kemampuan untuk memberikan imbalan karena kepatuhan mereka.
c.       Kekuasaan Paksaan, bentuk kekuasaan paksaan ini di pakai untuk memperoleh pemenuhan akan permintaan atau untuk mengoreksi perilaku tidak produktif dalam organisasi.
d.      Kekuasaan Ahli, seseorang dengan keahlian khusus dinilai mempunyai kekuasaan ahli yang tinggi.
e.       Kekuasaan Referensi, kharisma adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan kepribadian yang menarik.


·         Alur Kekuasaan yang Mengarah ke Atas
Dalam hirarki kekuasaan, individu di posisi yang paling rendah mempunyai lebih sedikit kekuasaan daripada individu yang berada pada posisi lebih tinggi. Namun kekuasaan juga dapat diterapkan ke atas dalam organisasi (J. Dobos, M.H. Bahniul, and Kogler Hill ; Power Gaining Communication Strategies dan Career Success). Konsep tentang kekuasaan bawahan dapat disatukan pada keahlian, lokasi dan informasi yang merupakan faktor penting dari potensial kekuasaan pekerja pada tingkat lebih rendah dalam hirarki. Sebagai contoh, kekuasaan ke atas atau pengaruh yang nyata dapat dipakai oleh seorang sekretaris yang relatif berpangkat rendah, pembuat program computer, atau staf yang mempunyai keahlian, dalam posisi untuk berhubungan dengan individu yang penting, atau mempunyai akses dan mengendalikan informasi penting (Lyman W. Porter , Robert W. Allen, and H.L. Angee ; The Politics of Upward Infuence in Organizations, 1981).

2.1.2.      Definisi Politik Perspektif Barat
Secara prinsip, politik merupakan upaya untuk berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat atau orang banyak. Karena menyangkut kepentingan banyak orang maka politik sangat dekat dengan kekuasaan. Disisi lain, karena politik berusaha mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat, politik juga dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran kepada masyarakat luas. Namun banyak juga yang sering melihat politik sebagai suatu seni atau ilmu dimana praktek-praktek yang cerdik, licin dan kadang-kadang tidak jujur harus digunakan dalam persaingan dengan orang lain untuk memperoleh kekuasaan dan kepemimpinan dalam kehidupan kelompok kerja.
Isu kekuasaan dan politik acapkali melibatkan juga isu etika. Contohnya penggunaan kekuasaan di luar dari batas wewenang formal, kekuasaan, prosedur, uraian pekerjaan, dan tujuan organisasi. Manajer berhadapan dengan dilema etika dalam pekerjaan karena mereka sering menggunakan kekuasaan dan politik untuk mencapai tujuan mereka. Baru-baru ini, peneliti telah mengembangkan suatu kerangka kerja yang memungkinkan seorang manajer mengintegrasikan etika ke dalam perilaku politik. Peneliti menyarankan bahwa perilaku manajer harus dapat memenuhi kriteria tertentu untuk menjadi pertimbangan etika :
a.       Hasil yang bermanfaat. Perilaku manajer menghasilkan kepuasaan optimal dari para pihak, baik dari dalam maupun di luar organisasi. Dengan kata lain, berakibat pada hal terbaik untuk sejumlah besar orang.
b.      Hak individu. Perilaku manajer harus menghormati hak-hak dari semua pihak yang terkait. Dengan kata lain manajer respek pada hak dasar manusia yakni kebebasan member persetujuan, kebebasan berbicara, kebebasan menyatakan kata hati, keleluasaan pribadi, dan berkaitan dengan proses.
c.       Distribusi keadilan. Perilaku manajer harus respek pada aturan keadilan. Dalam arti kata manajer memperlakukan orang secara adil, wajar ddan tidak sewenang-wenang.

2.2. Definisi Kekuasaan dan Politik Prespektif Islam
2.2.1.      Definisi Kekuasaan
Mengenai konsep kekuasaan secara fundamental, Islam berbeda dari semua system lainnya. Dalam Islam kekuasaan mutlak ada pada Allah tidak pada siapapun. Kekuasaan bukanlah milik kerajaan, Negara atau bahkan rakyat. Rakyat adalah si penerima amanat kekuatan itu yaitu kekuasaan. Mereka berkuasa dengan cara mereka sendiri sebagaimana dinyatakan dalam system kapitalis dan sosialis. Seperti kapitalis, komunis tidak percaya akan kakuasaan Allah.
Konsep Islam tentang kedaulatan mengungguli semua sistem yang ada setidak-tidaknya dalam dua hal : pertama, keunggulannya terletak pada kepercayaan pada Allah dan ketakutannya untuk melanggar kode moral kehidupan yang diberikan Allah dalam kitab suci Al Qur’an, suatu kode yang yang juga dapat membawa keselarasan diantara syarat-syarat kehidupan material yang bertentangan. Ketakwaan kepada Allah diharapkan untuk dapat menjaga agar pemerintahan Islam selalu berada dalam batas demokrasi dan keadilan dalam arti istilah yang sesungguhnya. Karena kekuasaan ada pada Allah, maka demokrasi Islam lebih dari sekedar demokrasi rakyat atau demokrasi proletariat.
Kedua, Konsep Islam tentang kekuasaan lebih jernih dan lebih sederhana daripada konsep sistem manapun. Konsep Islam tentang kedaulatan adalah sangat sederhana, jelas, masuk akal dan meyakinkan. Konsep itu sesuai dengan sifat benda, tempat umat manusia dalam jagat, kedaulatan individu dalam masyarakat serta tujuan kehidupan moral, ekonomi dan politik yang dikembangkan olehnya.
Dalam Alqur’an Allah berfirman yang artinya Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nuur: 55-56)
Ayat tersebut merupakan suatu hal yang pasti bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih dalam bentuk kekuasaan (Istikhlaf). Dengan kekuasaan itulah kemudian Islam  mentransformasikan kehidupan masyarakat dengan tingkat moral, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya yang rendah (jahiliyah) menuju masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati Pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong- royong menjaga kedaulatan negara.
Dalam Pandangan Islam, kekuasaan bukan semata memperoleh jabatan dan dukungan rakyat, akan tetapi lebih dari itu bahwa Allah memberikan tata cara menggunakan amanah tersebut dalam formulasi perbaikan dan pembangunan, serta merealisasikan hukum Allah bagi seluruh umat manusia. Merupakan keniscayaan  dakwah untuk menegakkan amar ma’ruf  nahi mungkar sebagaimana sejarah dakwah yang dilakukan oleh para nabi ditemukan suatu kenyataan bahwa memasuki wilayah politik dan kekuasaan adalah sebuah jalan yang harus dilalui umat Islam, terutama melihat kerusakan sistem politik yang parah di dalamnya. Karena Islam adalah agama yang Syamil (menyeluruh) menyentuh seluruh aspek kehidupan. Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, rumah tangga dan negara, ekonomi, sosial, budaya dan syariat.
Keintegralan dinul Islam ini banyak diakui oleh kalangan pemikir dan cendikiawan barat yang nota bene sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir.
Wilfred cantwell Smith misalnya, dalam sebuah bukunya “Islam in Modern History” mengatakan bahwa: “Islam adalah Kekuatan Sosio Cultural satu-satunya yang paling konsisten dan kenyal di daerah-daerah yang didiami oleh penduduk muslim yang sangat banyak”.
Orang-orang yang tidak senang dengan kejayaan Islam, akan selalu berupaya untuk menghalau siapa saja yang akan mewujudkan kejayaan tersebut. Maka tidak heran masih banyak di kalangan umat Islam sendiri yang memandang aktivitas politik bukan bagian dari Islam, ia harus dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Islam hanya dipandang sebagai aktivitas dengan ibadah-ibadah yang berbau ritual saja sedangkan Aspek yang lainnya dilupakan.
Contohnya, Nabi Yusuf as meraih kekuasaan sebagai  seorang bendaharawan Negara, Rasulullah sebagai seorang Qiyadah sebuah Daulah Islamiyah, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib pernah menjabat sebagai seorang Penguasa (baca: Khalifah), Umar bin ‘Abdu Azis dan Sulthan ‘Abdul Hamid adalah contoh sejarah bagaimana bila seorang penguasa adalah seorang yang ‘Alim dan Shalih serta sebagai seorang Dai.
Maka kekuasaan yang diraih adalah Demi mewujudkan Bangsa yang Adil, Sejahtera dan bermartabat. Syariat Allah akan tegak dengan sendirinya sebagaimana ia pernah tegak di masa sebelumnya. Dan semoga Allah SWT memberikan pertolongan dan kemenangan kepada setiap Umat-Nya yang dengan ikhlas.

2.2.2.      Definisi Politik
Islam adalah agama yang syammil mutakammil (sempurna dan paripurna), islam bukan hanya mengatur masalah ritual ubudiyah saja, tapi seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan sampai ke hal-hal terkecil dalam kehidupan manusia.
Jika islam hanya mengatur masalah-masalah ibadah saja, tanpa mengatur masalah sosial budaya, pendidikan, tata Negara/pemerintahan, dan sosial politik, maka sama saja islam dengan agama lain, tidak ada keistimewaan islam dibandingkan agama-agama lainnya.
Dalam masalah politik, banyak kalangan yang berpendapat bahwa islam tidak mengenal politik, antara agama dan politik tidak bisa disatukan, dan banyak pendapat lainnya. Namun saya berpendapat, pendapat yang mengatakan islam tidak berpolitik dan tidak mengatur masalah politik sehingga dalam islam tidak dibernarkan berpolitik adalah sebuah pendapat yang sebenarnya sama saja mengatakan bahwa islam itu agama yang tidak sempurna dan paripurna, Islam agama yang tidak menjangkau semua aspek kehidupan.
Aqidah Islam bersifat  komprehensif dan menyeluruh, ia berbeda dari semua umat karena konsepsinya tentang Ubudiyah. Umat Islam meyakini bahwa Allah Maha Esa, dan meyakini bahwa Allah meliputi setiap gerak manusia dalam semua urusan. Dia adalah Pencipta dan Pemberi Rizki kepada hamba-Nya. Dia juga pembuat undang-undang untuk mereka menyangkut semua aspek kehidupan. Islam tidak membatasi ubudiyah kepada Allah hanya menyangkut aspek spiritual belaka, sementara aspek kehidupan lainnya ditujukan kepada selain-Nya. Misalnya, membuang nilai-nilai aturan Allah dari kehidupan politik, ekonomi, dan moral. Islam menilai pemisahan ini sebagai kesesatan dan penyesatan terhadap umat manusia, dan bertentangan dengan aksiomatik islam yang hanif.
Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh karena itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah Siyasah Syar’iyyah. Dalam Al Muhith, Siyasah berakar kata Sâsa-Yasûsu. Dalam kalimat Sasa Addawaba Yasusuha Siyasatan bererti Qama ‘Alaiha Wa Radlaha Wa Adabbaha (mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya).
Bila dikatakan Sasa Al-Amra artinya Dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh masyarakat Islam.

·         Dasar Politik Islam
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)”
Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda : "Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)

·         Pemikiran Politik Islam

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tatacara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Bolehlah kita katakan pemikiran para pemikir Islam yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ini kerana, ketika sejak Revolusi Perancis agama Kristien relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara iaitu bahawa gereja harus terpisah dari negara. Namun begitu, Islam masih lagi tetap pada persoalan yang satu iaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.[1]

·         Pandangan Orientalis Barat tentang Politik Islam

1.      Dr. V. Fitzgerald berkata : "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad-dekad terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mendakwa diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahawa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras, yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain".[2]

2.      Prof. C. A. Nallino berkata : "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas wilayah negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".[3]

3.      Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama, ia juga mencerminkan teori-teori perundangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".[4]

4.      Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Kerana pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politik yang bijaksana, atau "negarawan".[5]

5.      Prof D.B. Macdonald berkata : "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama dalam undang-undang Islam".[6]

6.      Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang ketua agama dan ketua negara".[7]

7.      Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahawa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang bebas. Ia mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundangan dan institusi".[8]


2.3. Perbedaan Kekuasaan Politik Perspektif Barat dengan Perspektif Islam
Perbedaan ini bukan berarti menyudutkan salahsatu kubu, akan tetapi ini sebagai penyadaran kepada pembaca bahwa kedua perspektif ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan yaitu sebagai berikut :
1.      Perspektif Islam memandang bahwa kekuasaan politik adalah sebagai salahsatu sarana untuk mencapai tujuan yaitu menegakkan agama Islam dan hukumnya di muka bumi ini sebagai amanah dari Allah SWT. Bukan sebagai tujuan utama, sedangkan dalam perspektif barat kekuasaan politik sebagai tujuan untuk mencapai kesejahteraan, dan kepentingan kelompoknya.
2.      Perspektif Barat dalam kekuasaan politik, berasal dari buah pemikiran para ahli di bidangnya secara rasional dibuat sistemnya, hukumnya dibuat sesuai adat budaya di daerah itu. Sedangkan Islam dasarnya dari Alquran dan Al-Hadits sebagai pilar utama dalam berhukum dan berpikir. Jika menyimpang dalam hal-hal dasar yang penting dari kedua itu maka tidak di akui.
3.      Perspektif Barat dalam kekuasaan politik, setelah mencapai tujuannya maka mereka mempertahankan itu, dan setelah itu hanyalah kekosongan, karena tujuannya hanya sampai meninggal. Namun dalam Islam, memandang kekuasaan politik tidak hanya sekedar sampai meninggal urusannya akan tetapi di alam setelah kematian masih akan dipertanggungjawabkan kekuasaan politik yang ia pegang semenjak hidup, sehingga ada ketakutan ketika hidup memegang kekuasaan politik untuk menyimpang dari hal itu.
4.      Islam memandang bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Allah bukan pada manusia, manusia hanyalah diberi amanah oleh Allah SWT untuk berjuang mengelola bumi ini sampai akhir hayat.


BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Kekuasaan Politik memang hal yang penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat, karena ini berkaitan dengan masa depan masyarakat kedepan. Perbedaan pandangan ini, karena adanya perbedaan latarbelakang, dasar pemikiran, agama dan lain sebagainya, sehingga dari keduanya mungkin ada plus minus. Masyarakat harus tersadarkan bahwa penyimpangan seseorang dalam organisasi kekuasaan terbesar bernama negara, tidak ada hubungannya dengan oknum orangnya, tetapi orang itu mengapa melakukan penyimpangan, selain itu, masayarakat harus terbuka cakrawalanya bahwa tidak semua agama hanya melakukan peribadatan secara horisontal kepada tuhannya, tetapi agama juga mengajarkan bahwa agama islam khususnya mempunyai peran penting dalam urusan-urusan keduniaan seperti politik dan lain-lain.

B.     Saran
a.       Mengambil hal-hal positif dari Kekuasaan politik konsep barat maupun konsep islam.
b.      Setiap manusia harus berafiliasi terhadap salahsatu pilihan baik itu golongan kanan ataupun kiri.
c.       Mengambil pelajaran-pelajaran sejarah peradaban yang pernah terjadi di muka bumi ini, sebagai contoh untuk membangun bangsa yang mempunyai peradaban yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Baz, Abdullah Aziz bin, et.all. Koreksi Totak Masalah Politik dan Pemikiran: Dalam al-Qur’an dan Sunnah. Terj. Ihsan Al-Atsari. Jakarta: Darud Haq.2002.
Ahmad, Khurshid. Pesan Islam.terj. Achsin Mohammad. Bandung: Mizan.1983.
Azra, Azyumardi PergolakaPolitik Islam dari Fundamentalisme, ModernismeHingga Post – Modernisme. Jakarta: Paramadina.1996.
Budiardjo, Miriam, Dasar – dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.1997.
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Terj Abdullah Ali dan Mariana Ariestywati. Jakarta: PT,. Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. (Surabaya: Pt. Bina Ilmu). 1995.


CATATAN KAKI
1.      Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, oleh Antony Black, Serambi, Jakarta 2006
2.      "Muhammedan Law", Bab I, m/s 1.
3.      The Caliphate, m/s 198 oleh Sir. T. Arnold
4.      Encyclopedia of Social Sciences, Bab VIII, m/s 333
5.      The Encyclopedia of Islam, Bab IV, m/s 350.
6.      Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, m/s 67
7.      The Caliphate, Oxford, 1924, m/s 30.
8.      Muhammedanism, 1949, m/s 3


1 komentar:

Semoga yang Komentar masuk Surga