MAKALAH PERILAKU ORGANISASI
STUDI PERBANDINGAN KEKUASAAN DAN POLITIK PERSPEKTIF BARAT DENGAN
PERSPEKTIF ISLAM
disusun oleh :
Berry
Sastrawan
D.
11 10 150
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu dalam menyelesaikan makalah Perilaku Organisasi yang berjudul “Studi Perbandingan Kekuasaan dan Politik Pespektif Barat dengan Perspektif Islam”
Dengan
rendah hati penulis membuat makalah ini,
mungkin masih jauh dari
kesempurnaan. Dimana dalam
penyusunan makalah ini penulis melakukannya penuh dengan kerja keras, dari
mencari bahan materi, penyusunan, sampai peninjauan pustaka dari berbagai macam
buku dan sumber-sumber yang lain, sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan hal tersebut dijadikan motivasi dan evaluasi dalam membuat tulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di hari yang akan datang.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Bogor,
04 Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
...............................
|
I
|
DAFTAR ISI
|
...............................
|
II
|
BAB I PENDAHULUAN
|
...............................
|
1
|
1.1.Latar Belakang Masalah
|
...............................
|
|
1.2. Rumusan Masalah
|
...............................
|
|
1.3. Tujuan
|
...............................
|
|
BAB II PEMBAHASAN
|
...............................
|
|
2.1. Definisi
Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat
|
...............................
|
|
2.1.1. Definisi Kekuasaan
|
...............................
|
|
2.1.2. Definisi Politik
|
||
2.2. Definisi
Kekuasaan dan Politik Perspektif Islam
|
...............................
|
|
2.2.1. Definisi Kekuasaan
|
...............................
|
|
2.2.2. Definisi Politik
|
...............................
|
|
2.3. Perbedaan
Kekuasaan politik Perspektif Barat dengan
Perspektif Islam
|
...............................
|
|
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
|
...............................
|
|
3.1. Kesimpulan
|
...............................
|
|
3.2. Saran
|
...............................
|
|
DAFTAR PUSTAKA
|
...............................
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Dunia tempat dimana semua
makhluk hidup menghadapi masalah-masalah yang ada, khususnya manusia sebagai
makhluk yang bisa memberdayakan sumber-sumber kehidupan yang ada di bumi,
kemampuan bersosialisasi, kemampuan memimpin dan lain sebagainya.
Manusia-manusia saling
berinteraksi, mengakibatkan adanya masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan. Maka
dibutuhkan keefektifan dan pengaturan supaya tujuan manusia bisa tercapai,
tentu yang mengatur itu bukanlah semua orang, tapi orang-orang yang terpilih
yang mewakili semua orang. Itulah kita sebut dengan pemimpin.
Pemimpin mempunyai pengaruh
terhadap orang-orang yang dipimpinnya, karena keputusan yang dikeluarkan berakibat
kepada kepentingan yang orang-orang yang dipimpinnya, sehingga pemimpin tidak
lepas dari wewenang dan kekuasaan yang diemban dalam diri seorang pemimpin.
Pemimpin-pemimpin besar telah
menjadi inspirator bagi banyak orang dikagumi, dihormati dan dimuliakan, karena
pengaruhnya terhadap orang banyak, dan tidak sedikit orang yang ingin
mendapatkannya, akan tetapi dalam konteks sekarang dengan negara demokrasi seorang
pemimpin yang dipilih rakyat secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
kekuasaan dapat dipegang secara otoritatif oleh satu orang.
Konteks tersebut merupakan
salah satu peristiwa politik, politik hanyalah sebuah alat untuk mencapai suatu
tujuan yang hendak ingin dicapai seseorang dalam menggapai kekuasaan yang sah
(otoritatif).
Sedangkan dalam pandangan
islam, menganggap manusia merupakan makhluk yang harus menghamba kepada
penciptanya secara vertikal dan menjadi pemimpin dalam memberdayakan bumi ini
untuk kesejahteraannya dalam mendukung menghamba kepada Penciptanya dan
memimpin manusia yang lain dalam kelompoknya untuk mencapai kebahagiaanya dalam
hidup secara horisontal.
Islam memandang kekuasaan dan
politik hanyalah sebuah cara atau alat dalam menegakkan kebenaran dan mencegah
hal-hal yang buruk, karena islam bukan hanya sekedar agama tapi sebuah sistem
kehidupan yang menyeluruh yang didalamnya terdapat solusi-solusi permasalahan
dalam kehidupan manusia.
Dari situ bisa kita liha perbedaan antara pandangan kekuasaan, politik dan
pemimpin pandangan umum secara konvensional dengan pandangan Islam, sehingga
penulis merasa tertarik untuk membuat karya tulis makalah berjudul “Studi
Perbandingan Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat dengan Perspektif Islam”.
Penulis memandang bahwa studi kepustakaan ini cukup urgen dengan melihat
masyarakat Islam dan Barat masih tabu akan pandangan kekuasaan dari berbagai
sudut pandang, salahsatunya sudut pandang agama.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat ?
2.
Bagaimana Kekuasaan dan Poliik Perspektif Islam ?
3.
Apakah perbedaan Kekuasaan dan Politik pandangan Barat
dengan Perspektif Islam?
1.3.Tujuan
1.
Mengetahui bagaimana kekuasaan dan politik perspektif Barat.
2.
Mengetahui bagaimana kekuasaan dan poliik perspektif Islam.
3.
Mengetahui sejauh apa perbedaan kekuasaan dan
politik perspektif Barat dengan perspektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi Kekuasaan dan Politik Perspektif Barat
2.1.1.
Definisi Kekuasaan
Pelopor
pertama yang mempergunakan istilah kekuasaan adalah sosiolog kenamaan Max Weber. Dia merumuskan
kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinan yang membuat
seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan
untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan
(Henderson dan Talcott Parsons : Organizations Behavior ; 387).
Bierstedt
mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan
kekuatan. Kekuasaan adalah bagian yang mengisi jalinan kehidupan
organisasi (Iain Mangham ; “Power and Performance in Organizations”).
Menyelesaikan masalah memerlukan kekuatan. Setiap
hari, manajer pada organisasi public dan swasta memperoleh dan
menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, dan dalam banyak kasus untuk
memperkuat posisinya sendiri. Keberhasilan atau kegagalan
seseorang dalam menggunakan dan bereaksi pada kekuasaan sangat ditentukan
oleh pengertiannya tentang kekuasaan, mengetahui bagaimana dan kapan
menggunakannya, dan dapat mengantisipasi kemungkinan akibat-akibatnya.
Negara-negara demokrasi barat dalam
masyarakat kapitalis percaya pada apa yang disebut kedaulatan rakyat.
Selanjutnya, kekuasaan dalam komunisme adalah kekuasaan proletariat dengan
mengabaikan kehendak mereka yang bukan proletariat dengan mengabaikan kehendak
mereka yang bukan proletariat. Akhirnya, Facisme percaya akan kukuasaan negara
yang bagi mereka merupakan tujuan itu sendiri, bukannya suatu cara untuk
mencapai tujuan.
Konsep barat tentang kedaulatan tidak
jelas dan kabur karena banyak aliran yang memberikan teorinya sendiri dengan
sifat, luas, dan lokasi kekuasaan yang berbeda-beda. Disini perselisihan antara
konsep monistik dan pluralistik tentang kekuasaan masih berlangsung.
Selanjutnya, konsep mereka tentang kakuasaan (yaitu kedaulatan rakyat) juga
menyesatkan, sebagian karena rakyat tidak dapat bertindak sebagai penguasa yang
berdaulat, dan sebagian karena kedaulatan rakyat tidak dapat menjamin
kesejahteraan rakyat. Terutama karena dalam kapitalisme kehendak rakyat tidak merupakan kehendak
seluruh rakyat. Kemudian, kekuasaan dalam komunisme membingungkan karena dalam
teori ini kekuasaan berarti kedaulatan rakyat, tapi dalam prakteknya menjadi
kedaulatan proletariat yang menindas kebebasan berfikir dan hati nurani individu.
Sedangkan konsep fasis tentang kedaulatan negara sedemikian abstrak, sehingga
individu yang dihadapi segera kehilangan identitasnya.
·
Kekuasaan dan Pemegang Wewenang
Kekuasaan
meliputi hubungan antara dua atau lebih orang. Robert Dahl, seorang pakar politik
menangkap fokus yang hubungan yang penting ini ketika ia mendefinisikan kekuasaan
sebagai “ A memiliki kekuasaan atas B berarti bahwa ia dapat memerintah B
untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukan B”. kekuasaan harus
diterapkan atau mempunyai potensi untuk diterapkan dalam hubungannya dengan
orang atau kelompok yang lain.
Literatur membedakan antara kekuasaan dan wewenang. Max Weber menaruh
perhatian pada perbedaan-perbedaan di antara dua konsep ini (Theory of Social Economic ; 1947). Dia percaya
bahwa kekuasaan meliputi kekuatan dan paksaan. Sedangkan wewenang adalah
kekuasaan resmi yang dimiliki seseorang karena kedudukannya dalam organisasi.
Wewenang mempunyai sifat sebagai berikut :
1.
Terdapat pada posisi seseorang. Individu mempunyai
wewenang karena posisi yang ia pegang, bukan karena sifat pribadi yang khusus.
2.
Diterima oleh bawahan. Individu dalam posisi wewenang
yang sah, menerapkan wewenang dan dapat melaksanakannya karena ia mempunyai hak
yang sah.
3.
Kekuasaan digunakan secara vertical dan mengalir dari
atas ke bawah dalam susunan sebuah organisasi.
Kekuasaan
pertama sekali digambarkan dengan struktur organisasi (Jeffrey Pfeffer, Power in Organizations
1981). Pengaturan organisasi secara struktural membagi
kebijaksanaan pengambilan keputusan pada berbagai kedudukan. Dengan
demikian, struktur organisasi menciptakan kekuasaan formal dan wewenang
dengan cara menentukan individu tertentu untuk melakukan perkerjaan
dan membuat keputusan tertentu. John
French dan Bertram Raven mengusulkan
lima dasar kekuasaan antar pribadi (interpersonal), yakni :
a. Kekuasaan
Legitimasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi seseorang karena
kedudukannya.
b. Kekuasaan
Imbalan, seseorang memperoleh kekuasaan dari kemampuan untuk memberikan
imbalan karena kepatuhan mereka.
c. Kekuasaan
Paksaan, bentuk kekuasaan paksaan ini di pakai untuk memperoleh pemenuhan
akan permintaan atau untuk mengoreksi perilaku tidak produktif dalam
organisasi.
d. Kekuasaan
Ahli, seseorang dengan keahlian khusus dinilai mempunyai kekuasaan ahli yang
tinggi.
e. Kekuasaan
Referensi, kharisma adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan
kepribadian yang menarik.
·
Alur Kekuasaan yang
Mengarah ke Atas
Dalam hirarki kekuasaan, individu
di posisi yang paling rendah mempunyai
lebih sedikit kekuasaan daripada individu yang berada pada posisi lebih tinggi.
Namun kekuasaan juga dapat diterapkan ke atas dalam organisasi (J. Dobos,
M.H. Bahniul, and Kogler Hill ; Power Gaining Communication
Strategies dan Career Success). Konsep tentang
kekuasaan bawahan dapat disatukan pada keahlian, lokasi dan informasi
yang merupakan faktor penting dari potensial kekuasaan pekerja pada tingkat
lebih rendah dalam hirarki. Sebagai contoh, kekuasaan ke atas atau pengaruh
yang nyata dapat dipakai oleh seorang sekretaris yang relatif berpangkat rendah,
pembuat program computer, atau staf yang mempunyai keahlian,
dalam posisi untuk berhubungan dengan individu yang penting, atau mempunyai
akses dan mengendalikan informasi penting (Lyman W. Porter , Robert W.
Allen, and H.L. Angee ; The Politics of Upward Infuence in Organizations,
1981).
2.1.2.
Definisi Politik Perspektif Barat
Secara prinsip, politik merupakan upaya
untuk berperan serta dalam mengurus
dan mengendalikan urusan masyarakat atau orang banyak. Karena menyangkut kepentingan
banyak orang maka politik sangat dekat dengan kekuasaan. Disisi lain,
karena politik berusaha mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat,
politik juga dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan kebaikan dan kebenaran
kepada masyarakat luas. Namun
banyak juga yang sering melihat politik sebagai suatu seni atau ilmu dimana
praktek-praktek yang cerdik, licin dan kadang-kadang tidak jujur harus digunakan dalam
persaingan dengan orang lain untuk memperoleh kekuasaan dan
kepemimpinan dalam kehidupan kelompok kerja.
Isu kekuasaan dan politik acapkali
melibatkan juga isu etika. Contohnya penggunaan kekuasaan di luar dari batas
wewenang formal, kekuasaan, prosedur,
uraian pekerjaan, dan tujuan organisasi. Manajer berhadapan dengan dilema etika
dalam pekerjaan karena mereka sering menggunakan kekuasaan dan politik
untuk mencapai tujuan mereka. Baru-baru
ini, peneliti telah mengembangkan suatu kerangka kerja yang memungkinkan
seorang manajer mengintegrasikan etika ke dalam perilaku politik.
Peneliti menyarankan bahwa perilaku manajer harus dapat memenuhi kriteria
tertentu untuk menjadi pertimbangan etika :
a.
Hasil yang bermanfaat.
Perilaku manajer menghasilkan kepuasaan optimal dari para
pihak, baik dari dalam maupun di luar organisasi. Dengan kata lain,
berakibat pada hal terbaik untuk sejumlah besar orang.
b.
Hak individu. Perilaku
manajer harus menghormati hak-hak dari semua pihak yang terkait.
Dengan kata lain manajer respek pada hak dasar manusia yakni kebebasan
member persetujuan, kebebasan berbicara, kebebasan menyatakan
kata hati, keleluasaan pribadi, dan berkaitan dengan proses.
c.
Distribusi keadilan.
Perilaku manajer harus respek pada aturan keadilan. Dalam arti
kata manajer memperlakukan orang secara adil, wajar ddan tidak
sewenang-wenang.
2.2. Definisi Kekuasaan dan Politik Prespektif Islam
2.2.1.
Definisi
Kekuasaan
Mengenai konsep kekuasaan secara
fundamental, Islam berbeda dari semua system lainnya. Dalam Islam kekuasaan
mutlak ada pada Allah tidak pada siapapun. Kekuasaan bukanlah milik kerajaan, Negara
atau bahkan rakyat. Rakyat adalah si penerima amanat kekuatan itu yaitu
kekuasaan. Mereka berkuasa dengan cara mereka sendiri sebagaimana dinyatakan
dalam system kapitalis dan sosialis. Seperti kapitalis, komunis tidak percaya
akan kakuasaan Allah.
Konsep Islam tentang kedaulatan
mengungguli semua sistem yang ada setidak-tidaknya dalam dua hal : pertama, keunggulannya
terletak pada kepercayaan pada Allah dan ketakutannya untuk melanggar kode
moral kehidupan yang diberikan Allah dalam kitab suci Al Qur’an, suatu kode
yang yang juga dapat membawa keselarasan diantara syarat-syarat kehidupan
material yang bertentangan. Ketakwaan kepada Allah diharapkan untuk dapat
menjaga agar pemerintahan Islam selalu berada dalam batas demokrasi dan
keadilan dalam arti istilah yang sesungguhnya. Karena kekuasaan ada pada Allah,
maka demokrasi Islam lebih dari sekedar demokrasi rakyat atau demokrasi
proletariat.
Kedua,
Konsep Islam tentang kekuasaan lebih jernih dan lebih sederhana daripada konsep
sistem manapun. Konsep
Islam tentang kedaulatan adalah sangat sederhana, jelas, masuk akal dan
meyakinkan. Konsep itu sesuai dengan sifat benda, tempat umat manusia dalam
jagat, kedaulatan individu dalam masyarakat serta tujuan kehidupan moral,
ekonomi dan politik yang dikembangkan olehnya.
Dalam Alqur’an Allah berfirman
yang artinya ”Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan
Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan
taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS.
An-Nuur: 55-56)
Ayat tersebut merupakan
suatu hal yang pasti bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan kepada
orang-orang yang beriman dan beramal shalih dalam bentuk kekuasaan (Istikhlaf).
Dengan kekuasaan itulah kemudian Islam mentransformasikan kehidupan
masyarakat dengan tingkat moral, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya yang
rendah (jahiliyah) menuju masyarakat
berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum,
moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati Pluralitas; bersikap terbuka dan
demokratis; dan bergotong- royong menjaga kedaulatan negara.
Dalam Pandangan Islam, kekuasaan bukan semata
memperoleh jabatan dan dukungan rakyat, akan tetapi lebih dari itu bahwa Allah
memberikan tata cara menggunakan amanah tersebut dalam formulasi perbaikan dan
pembangunan, serta merealisasikan hukum Allah bagi seluruh umat manusia.
Merupakan keniscayaan dakwah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi
mungkar sebagaimana sejarah dakwah yang dilakukan oleh para nabi ditemukan
suatu kenyataan bahwa memasuki wilayah politik dan kekuasaan adalah sebuah
jalan yang harus dilalui umat Islam, terutama melihat kerusakan sistem politik
yang parah di dalamnya. Karena Islam adalah agama yang Syamil (menyeluruh)
menyentuh seluruh aspek kehidupan. Islam tidak memisahkan antara kehidupan
dunia dan akhirat, rumah tangga dan negara, ekonomi, sosial, budaya dan
syariat.
Keintegralan dinul
Islam ini banyak diakui oleh kalangan pemikir dan cendikiawan barat yang
nota bene sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir.
Wilfred cantwell Smith misalnya, dalam sebuah bukunya
“Islam in Modern History” mengatakan bahwa: “Islam adalah Kekuatan Sosio
Cultural satu-satunya yang paling konsisten dan kenyal di daerah-daerah yang
didiami oleh penduduk muslim yang sangat banyak”.
Orang-orang yang tidak senang dengan kejayaan Islam,
akan selalu berupaya untuk menghalau siapa saja yang akan mewujudkan kejayaan
tersebut. Maka tidak heran masih banyak di kalangan umat Islam sendiri yang
memandang aktivitas politik bukan bagian dari Islam, ia harus dipisahkan dari
kehidupan umat Islam. Islam hanya dipandang sebagai aktivitas dengan
ibadah-ibadah yang berbau ritual saja sedangkan Aspek yang lainnya dilupakan.
Contohnya, Nabi Yusuf as
meraih kekuasaan sebagai seorang bendaharawan Negara, Rasulullah sebagai
seorang Qiyadah sebuah Daulah Islamiyah, Abu Bakar, Umar
bin Khathab, Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib pernah menjabat sebagai seorang
Penguasa (baca: Khalifah), Umar bin ‘Abdu Azis dan Sulthan ‘Abdul Hamid adalah
contoh sejarah bagaimana bila seorang penguasa adalah seorang yang ‘Alim dan
Shalih serta sebagai seorang Dai.
Maka kekuasaan yang diraih adalah Demi mewujudkan
Bangsa yang Adil, Sejahtera dan bermartabat. Syariat Allah akan tegak dengan
sendirinya sebagaimana ia pernah tegak di masa sebelumnya. Dan semoga Allah SWT
memberikan pertolongan dan kemenangan kepada setiap Umat-Nya yang dengan
ikhlas.
2.2.2.
Definisi
Politik
Islam adalah agama yang syammil
mutakammil (sempurna dan paripurna), islam bukan hanya mengatur masalah ritual
ubudiyah saja, tapi seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan sampai ke hal-hal
terkecil dalam kehidupan manusia.
Jika islam hanya mengatur
masalah-masalah ibadah saja, tanpa mengatur masalah sosial budaya, pendidikan,
tata Negara/pemerintahan, dan sosial politik, maka sama saja islam dengan agama
lain, tidak ada keistimewaan islam dibandingkan agama-agama lainnya.
Dalam masalah politik, banyak kalangan
yang berpendapat bahwa islam tidak mengenal politik, antara agama dan politik
tidak bisa disatukan, dan banyak pendapat lainnya. Namun saya berpendapat,
pendapat yang mengatakan islam tidak berpolitik dan tidak mengatur masalah
politik sehingga dalam islam tidak dibernarkan berpolitik adalah sebuah
pendapat yang sebenarnya sama saja mengatakan bahwa islam itu agama yang tidak
sempurna dan paripurna, Islam
agama yang tidak menjangkau semua aspek kehidupan.
Aqidah Islam bersifat komprehensif
dan menyeluruh, ia berbeda dari semua umat karena konsepsinya tentang Ubudiyah. Umat Islam meyakini
bahwa Allah Maha Esa, dan meyakini bahwa Allah meliputi setiap gerak manusia
dalam semua urusan. Dia adalah Pencipta dan Pemberi Rizki kepada hamba-Nya. Dia
juga pembuat undang-undang untuk mereka menyangkut semua aspek kehidupan. Islam
tidak membatasi ubudiyah kepada Allah hanya menyangkut aspek spiritual belaka,
sementara aspek kehidupan lainnya ditujukan kepada selain-Nya. Misalnya,
membuang nilai-nilai aturan Allah dari kehidupan politik, ekonomi, dan moral.
Islam menilai pemisahan ini sebagai kesesatan dan penyesatan terhadap umat
manusia, dan bertentangan dengan aksiomatik islam yang hanif.
Politik dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh karena itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah Siyasah Syar’iyyah. Dalam Al
Muhith, Siyasah berakar kata Sâsa-Yasûsu.
Dalam kalimat Sasa Addawaba Yasusuha Siyasatan bererti Qama ‘Alaiha Wa Radlaha Wa Adabbaha (mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya).
Bila dikatakan Sasa Al-Amra artinya Dabbarahu (mengurusi
/ mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam adalah
pengurusan atas segala urusan seluruh masyarakat
Islam.
·
Dasar Politik Islam
Rasulullah SAW sendiri menggunakan
kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani
Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang
nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun
akan ada banyak para khalifah."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)”
Jelaslah bahawa politik atau
siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW.
bersabda : "Siapa
saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka
orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak
memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka
(iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)
· Pemikiran Politik Islam
Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tatacara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Bolehlah kita katakan pemikiran para pemikir Islam yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ini kerana, ketika sejak Revolusi Perancis agama Kristien relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara iaitu bahawa gereja harus terpisah dari negara. Namun begitu, Islam masih lagi tetap pada persoalan yang satu iaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.[1]
· Pandangan Orientalis Barat tentang Politik Islam
1. Dr. V. Fitzgerald berkata : "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad-dekad terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mendakwa diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahawa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras, yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain".[2]
2. Prof. C. A. Nallino berkata : "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas wilayah negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".[3]
3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama, ia juga mencerminkan teori-teori perundangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".[4]
4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Kerana pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politik yang bijaksana, atau "negarawan".[5]
5. Prof D.B. Macdonald berkata : "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama dalam undang-undang Islam".[6]
6. Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang ketua agama dan ketua negara".[7]
7. Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahawa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang bebas. Ia mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundangan dan institusi".[8]
2.3. Perbedaan Kekuasaan Politik Perspektif Barat dengan
Perspektif Islam
Perbedaan ini bukan berarti menyudutkan salahsatu kubu, akan tetapi ini
sebagai penyadaran kepada pembaca bahwa kedua perspektif ini mempunyai
perbedaan yang cukup signifikan yaitu sebagai berikut :
1. Perspektif
Islam memandang bahwa kekuasaan politik adalah sebagai salahsatu sarana untuk
mencapai tujuan yaitu menegakkan agama Islam dan hukumnya di muka bumi ini
sebagai amanah dari Allah SWT. Bukan sebagai tujuan utama, sedangkan dalam
perspektif barat kekuasaan politik sebagai tujuan untuk mencapai kesejahteraan,
dan kepentingan kelompoknya.
2. Perspektif
Barat dalam kekuasaan politik, berasal dari buah pemikiran para ahli di
bidangnya secara rasional dibuat sistemnya, hukumnya dibuat sesuai adat budaya
di daerah itu. Sedangkan Islam dasarnya dari Alquran dan Al-Hadits sebagai
pilar utama dalam berhukum dan berpikir. Jika menyimpang dalam hal-hal dasar
yang penting dari kedua itu maka tidak di akui.
3. Perspektif
Barat dalam kekuasaan politik, setelah mencapai tujuannya maka mereka
mempertahankan itu, dan setelah itu hanyalah kekosongan, karena tujuannya hanya
sampai meninggal. Namun dalam Islam, memandang kekuasaan politik tidak hanya
sekedar sampai meninggal urusannya akan tetapi di alam setelah kematian masih
akan dipertanggungjawabkan kekuasaan politik yang ia pegang semenjak hidup,
sehingga ada ketakutan ketika hidup memegang kekuasaan politik untuk menyimpang
dari hal itu.
4. Islam memandang
bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Allah bukan pada manusia, manusia
hanyalah diberi amanah oleh Allah SWT untuk berjuang mengelola bumi ini sampai
akhir hayat.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Kekuasaan Politik memang hal yang penting yang
harus diperhatikan oleh masyarakat, karena ini berkaitan dengan masa depan
masyarakat kedepan. Perbedaan pandangan ini, karena adanya perbedaan
latarbelakang, dasar pemikiran, agama dan lain sebagainya, sehingga dari
keduanya mungkin ada plus minus. Masyarakat harus tersadarkan bahwa
penyimpangan seseorang dalam organisasi kekuasaan terbesar bernama negara,
tidak ada hubungannya dengan oknum orangnya, tetapi orang itu mengapa melakukan
penyimpangan, selain itu, masayarakat harus terbuka cakrawalanya bahwa tidak
semua agama hanya melakukan peribadatan secara horisontal kepada tuhannya,
tetapi agama juga mengajarkan bahwa agama islam khususnya mempunyai peran
penting dalam urusan-urusan keduniaan seperti politik dan lain-lain.
B.
Saran
a. Mengambil
hal-hal positif dari Kekuasaan politik konsep barat maupun konsep islam.
b. Setiap manusia
harus berafiliasi terhadap salahsatu pilihan baik itu golongan kanan ataupun
kiri.
c. Mengambil
pelajaran-pelajaran sejarah peradaban yang pernah terjadi di muka bumi ini,
sebagai contoh untuk membangun bangsa yang mempunyai peradaban yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin
Baz, Abdullah Aziz bin, et.all. Koreksi Totak Masalah Politik dan
Pemikiran: Dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Terj. Ihsan Al-Atsari. Jakarta: Darud
Haq.2002.
Ahmad,
Khurshid. Pesan Islam.terj. Achsin Mohammad.
Bandung: Mizan.1983.
Azra,
Azyumardi Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme,
Modernisme, Hingga Post –
Modernisme. Jakarta: Paramadina.1996.
Budiardjo,
Miriam, Dasar – dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama.1997.
Black,
Antony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.
Terj Abdullah Ali dan Mariana Ariestywati. Jakarta: PT,. Serambi Ilmu Semesta.
2006.
Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya.
Djaelani,
Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut
Konsepsi Islam. (Surabaya: Pt. Bina Ilmu). 1995.
CATATAN KAKI
1.
Pemikiran
Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa
Kini,
oleh Antony Black, Serambi, Jakarta 2006
2. "Muhammedan Law", Bab I, m/s
1.
3. The
Caliphate,
m/s 198 oleh Sir. T. Arnold
4. Encyclopedia
of Social Sciences,
Bab VIII, m/s 333
5. The
Encyclopedia of Islam,
Bab IV, m/s 350.
6. Development
of Muslim Theology,
Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, m/s 67
7.
The Caliphate, Oxford, 1924, m/s 30.
8.
Muhammedanism, 1949, m/s 3
thanks for the info I copied it .......
BalasHapus