RESUME PSIKOLOGI SOSIAL
TEORI SIKAP
disusun oleh :
Berry
Sastrawan
D.
11 10 150
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2014
1.1. Definisi Terori Sikap
Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecendrungan
untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk
pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi
tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide,
orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004).
Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya
suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi,
membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menetukan kecendrungan
perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan terhadap
diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan akan
masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang sedang
kita hadapi saat ini (Azwar, 2005).
Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.
Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Berarti sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada
objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
Ketiga skema triadik (triadic schema).
Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi
didalam memahami, merasakan dan
berperilaku terhadap suatu objek.
Para ahli Psikologi sosial mengklasifikasikan pemikiran tentang sikap, dalam dua pendekatan.
Pendekatan yang pertama memandang sikap
sebagai kombinasi reaksi aktif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek (Breckler, 1984; Katz
&Stotland, 1959; Rajecki, 1982; dalam Brehm & Kassin, 1990; dalam Azwar, 2005). Di sini Secord dan Bacman (1964) membagi sikap menjadi tiga komponen
yaitu Komponen kognitif, adalah komponen
yang terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif.
Komponen konatif, adalah komponen
sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap. Pendekatan kedua ialah pendekatan yang timbul karena adanya
ketidakpuasan atas penjelasan mengenai
inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk
sikap (Brehm & Kassian, 1990).
Psikolog sosial memandang sikap sebagai hal yang penting bukan hanya kerena sikap itu sulit untuk
diubah, tetapi karena sikap sangat mempengaruhi
pemikiran sosial individu meskipun sikap tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak dan juga karena sikap seringkali mempengaruhi tingkah laku
individu terutama terjadi saat sikap yang
dimiliki kuat dan mantap (Baron, 2004).
Berdasarkan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi
perasaan dan kecenderungan potensial
untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang
saling bereaksi didalam memahami, merasakan
dan berperilaku terhadap suatu objek.
1.2. Komponen Sikap
Sikap dibagi menjadi tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif, adalah
komponen yang terdiri dari pengetahuan.
Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya
dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk
berperilaku yang berhubungan dengan
objek sikap (dalam Azwar, 2005).
Mann (dalam Azwar, 2005) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotype
yang dimilki individu mengenai
sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
Kompoenen afektif merupakan perasaan
individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi.
Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang
paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh
yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.
Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan
cara-cara tertentu.
1.3. Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap
dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap tertentu. Dalam
interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang
satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk
pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005).
1.4. Sikap dan Perilaku
Sikap
menjadi perilaku dapat dilihat dalam dua pendekatan. Pertama, teori perilaku beralasan mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia
memandang perbuatan itu positif dan
ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
Kedua,
teori perilaku terencana menyatakan keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada
norma-norma subjektif, dan pada
control perilaku yang dihayati. Sikap terhadap sutu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan
atau tidak diinginkan.
1.5. Konsistensi
Sikap-Perilaku
Sikap merupakan suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari
oleh proses evaluasi dalam diri
individu yang memberi kesimpulan terhadap
stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkantidak menyenangkan, yang kemudian
mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap
objek sikap. Potensi reaksi itu akhirnya dinytakan dalam bentuk reaksi perilaku yang konsisten atau
sesuai apabila individu dihadapkan pada
stimulus sikap.
Postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan
oleh factor-faktor situasional tertentu kondisi
apa, waktu apa, dan situasi bagaimana saat individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya
merupakan sebagian dari determinan-determinan yang sangat berpengaruh terhadap
konsistensi antara sikap dengan
pernytaannya dan antar pernytaan sikap dan perilaku. Sikap seharusnya dipandang sebagai suatu predisposisi untuk berprilaku yang akan tampak actual
hanya bila kesempatan untuk menyatakannya
terbuka luas. Mann(1969) mengatakan bahwa sekalipun sikap merupakan predisposisi evaluative yang banyak menetukan bagaimann individu bertindak, akan
tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali
jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan
tetapi oleh berbagai factor eksternal lainnnya.
Pada dasarnya, sikap memang lebih bersifat pribadi sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat
umum atau social, karena itu tindakan
lebih peka terhadap tekanan-tekan sosial.
1.6. Perubahan Sikap
Proses
perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau pengendalian
situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perbahan sikap ke arah yang
dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman mengenai
organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan proses
perubahan sikap.
Pada
teori Kelman (dalam Azwar, 2005) ditunjukkan bagaimana sikap dapat berubah
melaui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi. Kesediaan
terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari
kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperolah reaksi atau
tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi terjadi saat individu
meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap sekelompok lain dikarenakan
sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan
yang menyenangkan antara individu dengan pihak lain termaksud. Internalisasi terjadi
saat individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menurut pengaruh itu
dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan
sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya (Azwar, 2005).
Proses
mana yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut banyak bergantung pada
sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan
masing-masing proses terjadinya pengaruh, dan implikasinya terhadap permanensi
perubahan sikap (Kelman, dalam Azwar 2005).
1.7. Definisi Disonansi
Kognitif
Menurut
Festinger (1957, hal. 3) disonansi kognitif adalah ketidaksesuaian yang
terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan
Psikologis serta memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi
itu dapat dikurangi. Istilah disonansi/disonan berkaitan dengan istilah konsonan
dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada antara elemen. Elemen-elemen
yang dimaksud adalah elemen kognitif (Festinger, 1957).
Hubungan
antara elemen kognitif yang konsonan berarti adanya suatu kesesuaian
antara elemen kognitif manusia (Festinger, 1957 dalam Breckler, Olson,
& Wiggins, 2006). Sementara hubungan yang disonan seperti yang juga diungkapkan
oleh Festinger (1957) :
“
These two elements are in a dissonant relation if, considering these two alone, the observe of one element
would follow from the other”
Contoh
hubungan yang disonan antara elemen kognitif menurut Festinger (1957)
yaitu jika seseorang tahu bahwa ia sedang terlilit hutang dan dia membeli sebuah
mobil baru, maka akan terjadi hubungan yang disonan antara kedua elemen
kognitif tersebut. Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan
antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang menyenangkan, sementara
hubungan yang disonan akan menyebabkan perasaan yang tidak enak atau
tidak nyaman pada individu. Perasaan tidak nyaman yang terbentuk akibat hubungan
yang disonan tersebut memotivasi individu untuk melakukan sesuatu agar
disonansi itu dapat dikurangi sehingga mereka akan merasa nyaman kembali (1957,
dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Setiap
hubungan yang disonan tentu saja tidak sama besarnya, dimana Festinger
(dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan
dari elemen-elemen kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi.
Semakin penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan mempengaruhi
besarnya hubungan yang disonan antara elemen tersebut. Breckler, Olson,
& Wiggins, (2006) juga menyatakan bahwa disonansi antara elemenelemen kognitif
yang penting akan menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar
dibandingkan disonansi pada elemen-elemen yang kurang penting. Sebagai contoh
yaitu, melukai perasaan sahabat akan lebih menimbulkan disonansi yang besar
dibanding ketika melukai perasaan orang asing.
1.8. Sumber Disonansi Kognitif
Menurut
Festinger (1957) sumber-sumber disonansi kognitif, antara lain :
1.
Inkonsistensi Logis (Logical
Inconsistency)
Disonansi yang terjadi
karena ketidaksesuaian elemen kognitif dengan hal-hal logis yang ada. Contoh
inkonsistensi logis yang dikemukakan oleh Sarlito (1998) keyakinan bahwa air
membeku pada 0ºC, secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa es balok
tidak akan mencair pada 40ºC.
2.
Nilai-nilai Budaya (Culture
Mores)
Perbedaan budaya yang
menyebabkan terjadinya disonansi kognitif. Contohnya: makan dengan tangan di
pesta resmi di Eropa menimbulkan disonansi, tetapi makan dengan tangan di
warung di Jakarta dirasakan sebagai konsonan (Sarlito, 1998).
3.
Pendapat Umum (Opinion
Generality)
Disonansi dapat terjadi
apabila pendapat yang dianut banyak orang dipaksakan kepada pendapat
perorangan. Contohnya: seorang remaja yang senang menyanyi lagu keroncong. Hal
ini menimbulkan disonansi karena pendapat umum percaya bahwa lagu keroncong
hanya merupakan kegemaran orang-orang tua (Sarlito, 1998).
4.
Pengalaman Masa Lalu (Past
Experience)
Jika kognisi tidak konsisten
dengan pengetahuan pada pengalaman masa lalu, maka akan muncul disonansi.
Contoh dari pengalaman masa lalu yang menjadi sumber disonansi kognitif menurut
Sarlito (1998) berdiri di hujan tidak basah. Keadaan ini disonan karena tidak
sesuai dengan pengalaman masa lalu.
1.9. Cara
Mengurangi Disonansi Kognitif
Adanya
disonansi meningkatkan tekanan untuk mengurangi atau bahkan mengeleminasi
disonansi tersebut. Semakin besar suatu disonansi kognitif yang terjadi,
maka intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi disonansi tersebut
akan semakin meningkat serta perilaku penghindaran yang dapat meningkatkan
disonansi juga akan semakin sering dilakukan (Festinger, 1957).
Cara-cara
yang dapat dilakukan untuk mengurangi disonansi Kognitif menurut
Festinger (1957) yaitu :
1.
Mengubah Elemen Kognitif
Tingkah Laku
Ketika disonansi terjadi
antara elemen kognisi lingkungan dengan elemen tingkah laku, disonansi dapat
dihilangkan dengan cara mengubah elemen kognisi tingkah laku agar konsonan
dengan elemen lingkungan. Sebagai contoh adalah orang yang merokok dan dia tau
bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, akan berhenti merokok untuk
menghilangkan disonansi kognitif yang dia rasakan. Cara ini paling sering
dilakukan, tetapi tidak selalu dapat dilakukan karena mengubah tingkah laku
yang sudah menjadi kebiasaan tidaklah mudah.
2.
Mengubah Elemen Kognitif
Lingkungan
Mengubah elemen lingkungan
agar konsonan dengan elemen kognitif tingkah laku dapat dilakukan untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi. Hal ini
tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elemen tingkah laku karena
individu harus punya kontrol yang cukup terhadap lingkungannya.
3.
Menambah Elemen Kognitif
yang Baru
Disonansi kognitif juga
dapat dikurangi dengan cara menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan
dengan elemen kognitif yang lain.
Dengan menambah elemen kognitif yang baru maka disonansi kemungkinan
akan berkurang dengan menurunkan tingkatan dari pentingnya disonansi
tersebut. Contohnya orang yang merokok dan atau efek negatif dari
merokok akan mengurangi disonansi kognitif yang terjadi dengan cara
mencari informasi terkait perilaku merokok yang dapat menurunkan
disonansi kognitif secara keseluruhan, seperti informasi bahwa konsumsi
minuman keras lebih mematikan dari pada perilaku merokok. Lewat cara ini
berarti individu juga secara aktif menghindari informasi yang dapat
meningkatkan disonansi kognitif yang mereka alami.
Menurut Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) cara mereduksi
disonansi kognitif tersebut juga dapat dilakukan lewat rasionalisasi,
yaitu meyakinkan diri sendiri bahwa perilaku yang dilakukan saat ini
atau di masa lampau semuanya masuk akal dan dapat diterima. Sedangkan
menurut Simon, Greenberg, & Brehm (1995, dalam Baron & Byrne,
2000 ) trivialization atau secara mental meminimalisir tingkat
kepentingan dari sikap atau perilaku yang tidak konsisten, juga dapat
dilakukan sebagai tehnik untuk mengurangi disonansi kognitif yang dialami.
1.10.
Pengertian Persepsi
Persepsi,
menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafslrkan pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu
proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa
lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang
terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal
tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi
adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam
lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi
adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Dikarenakan
persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian
pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan
indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali
obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358)
Sebagai cara
pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang
diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian
diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian
dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Dalam hal ini,
persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus
dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara
yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat
cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri
(Gibson, 1986: 54).
1.11.
Pembentukan Persepsi dan
Faktor-Faktor yang Menpengaruhi
Proses
pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991: 108)
sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat
stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation",
begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi
pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses
penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting.
Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun
menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi
berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap
informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari (1984: 12-13) pada
fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang
penting.
Faktor-faktor
fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan,
pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor
personal (Rakhmat 1998: 55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan
persepsl bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi
respon terhadap stimuli.
Persepsi
meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan
orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986 : 54). Selaras dengan
pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini Sugiharto 2001: 19) mengemukakan bahwa persepsi seseorang
ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu dan faktor
pribadi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan faktor pribadi adalah faktor
insternal anggota Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Maaf boleh saya minta daftar pustaka dari resume ini. Resume ini sangat bermnfaat sekali. Terima kasih
BalasHapus