Minggu, 16 Februari 2014

RESUME PSIKOLOGI SOSIAL TEORI SIKAP

RESUME PSIKOLOGI SOSIAL
TEORI SIKAP









disusun oleh :
Berry Sastrawan
D. 11 10 150




PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2014


1.1. Definisi Terori Sikap
Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004).
Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menetukan kecendrungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini (Azwar, 2005).
Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Para ahli Psikologi sosial mengklasifikasikan pemikiran tentang sikap, dalam dua pendekatan. Pendekatan yang pertama memandang sikap sebagai kombinasi reaksi aktif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek (Breckler, 1984; Katz &Stotland, 1959; Rajecki, 1982; dalam Brehm & Kassin, 1990; dalam Azwar, 2005). Di sini Secord dan Bacman (1964) membagi sikap menjadi tiga komponen yaitu Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap. Pendekatan kedua ialah pendekatan yang timbul karena adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap (Brehm & Kassian, 1990).
Psikolog sosial memandang sikap sebagai hal yang penting bukan hanya kerena sikap itu sulit untuk diubah, tetapi karena sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial individu meskipun sikap tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak dan juga karena sikap seringkali mempengaruhi tingkah laku individu terutama terjadi saat sikap yang dimiliki kuat dan mantap (Baron, 2004).
Berdasarkan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

1.2. Komponen Sikap
Sikap dibagi menjadi tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap (dalam Azwar, 2005).
Mann (dalam Azwar, 2005) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotype yang dimilki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Kompoenen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi.
Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

1.3. Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap tertentu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005).


1.4. Sikap dan Perilaku
Sikap menjadi perilaku dapat dilihat dalam dua pendekatan. Pertama, teori perilaku beralasan mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
Kedua, teori perilaku terencana menyatakan keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada control perilaku yang dihayati. Sikap terhadap sutu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.

1.5. Konsistensi Sikap-Perilaku
Sikap merupakan suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkantidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Potensi reaksi itu akhirnya dinytakan dalam bentuk reaksi perilaku yang konsisten atau sesuai apabila individu dihadapkan pada stimulus sikap.
Postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh factor-faktor situasional tertentu kondisi apa, waktu apa, dan situasi bagaimana saat individu tersebut harus mengekspresikan sikapnya merupakan sebagian dari determinan-determinan yang sangat berpengaruh terhadap konsistensi antara sikap dengan pernytaannya dan antar pernytaan sikap dan perilaku. Sikap seharusnya dipandang sebagai suatu predisposisi untuk berprilaku yang akan tampak actual hanya bila kesempatan untuk menyatakannya terbuka luas. Mann(1969) mengatakan bahwa sekalipun sikap merupakan predisposisi evaluative yang banyak menetukan bagaimann individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai factor eksternal lainnnya. Pada dasarnya, sikap memang lebih bersifat pribadi sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat umum atau social, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-tekan sosial.


1.6. Perubahan Sikap
Proses perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perbahan sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan proses perubahan sikap.
Pada teori Kelman (dalam Azwar, 2005) ditunjukkan bagaimana sikap dapat berubah melaui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi. Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperolah reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi terjadi saat individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap sekelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara individu dengan pihak lain termaksud. Internalisasi terjadi saat individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menurut pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya (Azwar, 2005).
Proses mana yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut banyak bergantung pada sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan masing-masing proses terjadinya pengaruh, dan implikasinya terhadap permanensi perubahan sikap (Kelman, dalam Azwar 2005).



1.7. Definisi Disonansi Kognitif
Menurut Festinger (1957, hal. 3) disonansi kognitif adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis serta memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi. Istilah disonansi/disonan berkaitan dengan istilah konsonan dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada antara elemen. Elemen-elemen yang dimaksud adalah elemen kognitif (Festinger, 1957).
Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan berarti adanya suatu kesesuaian antara elemen kognitif manusia (Festinger, 1957 dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006). Sementara hubungan yang disonan seperti yang juga diungkapkan oleh Festinger (1957) :
“ These two elements are in a dissonant relation if, considering these two alone, the observe of one element would follow from the other”
Contoh hubungan yang disonan antara elemen kognitif menurut Festinger (1957) yaitu jika seseorang tahu bahwa ia sedang terlilit hutang dan dia membeli sebuah mobil baru, maka akan terjadi hubungan yang disonan antara kedua elemen kognitif tersebut. Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang menyenangkan, sementara hubungan yang disonan akan menyebabkan perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman pada individu. Perasaan tidak nyaman yang terbentuk akibat hubungan yang disonan tersebut memotivasi individu untuk melakukan sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi sehingga mereka akan merasa nyaman kembali (1957, dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Setiap hubungan yang disonan tentu saja tidak sama besarnya, dimana Festinger (dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan dari elemen-elemen kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi. Semakin penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan mempengaruhi besarnya hubungan yang disonan antara elemen tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) juga menyatakan bahwa disonansi antara elemenelemen kognitif yang penting akan menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan disonansi pada elemen-elemen yang kurang penting. Sebagai contoh yaitu, melukai perasaan sahabat akan lebih menimbulkan disonansi yang besar dibanding ketika melukai perasaan orang asing.


1.8. Sumber Disonansi Kognitif
Menurut Festinger (1957) sumber-sumber disonansi kognitif, antara lain :
1.      Inkonsistensi Logis (Logical Inconsistency)
Disonansi yang terjadi karena ketidaksesuaian elemen kognitif dengan hal-hal logis yang ada. Contoh inkonsistensi logis yang dikemukakan oleh Sarlito (1998) keyakinan bahwa air membeku pada 0ºC, secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa es balok tidak akan mencair pada 40ºC.
2.      Nilai-nilai Budaya (Culture Mores)
Perbedaan budaya yang menyebabkan terjadinya disonansi kognitif. Contohnya: makan dengan tangan di pesta resmi di Eropa menimbulkan disonansi, tetapi makan dengan tangan di warung di Jakarta dirasakan sebagai konsonan (Sarlito, 1998).
3.      Pendapat Umum (Opinion Generality)
Disonansi dapat terjadi apabila pendapat yang dianut banyak orang dipaksakan kepada pendapat perorangan. Contohnya: seorang remaja yang senang menyanyi lagu keroncong. Hal ini menimbulkan disonansi karena pendapat umum percaya bahwa lagu keroncong hanya merupakan kegemaran orang-orang tua (Sarlito, 1998).
4.      Pengalaman Masa Lalu (Past Experience)
Jika kognisi tidak konsisten dengan pengetahuan pada pengalaman masa lalu, maka akan muncul disonansi. Contoh dari pengalaman masa lalu yang menjadi sumber disonansi kognitif menurut Sarlito (1998) berdiri di hujan tidak basah. Keadaan ini disonan karena tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu.

1.9. Cara Mengurangi Disonansi Kognitif
Adanya disonansi meningkatkan tekanan untuk mengurangi atau bahkan mengeleminasi disonansi tersebut. Semakin besar suatu disonansi kognitif yang terjadi, maka intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi disonansi tersebut akan semakin meningkat serta perilaku penghindaran yang dapat meningkatkan disonansi juga akan semakin sering dilakukan (Festinger, 1957).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi disonansi Kognitif menurut Festinger (1957) yaitu :
1.      Mengubah Elemen Kognitif Tingkah Laku
Ketika disonansi terjadi antara elemen kognisi lingkungan dengan elemen tingkah laku, disonansi dapat dihilangkan dengan cara mengubah elemen kognisi tingkah laku agar konsonan dengan elemen lingkungan. Sebagai contoh adalah orang yang merokok dan dia tau bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, akan berhenti merokok untuk menghilangkan disonansi kognitif yang dia rasakan. Cara ini paling sering dilakukan, tetapi tidak selalu dapat dilakukan karena mengubah tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan tidaklah mudah.
2.      Mengubah Elemen Kognitif Lingkungan
Mengubah elemen lingkungan agar konsonan dengan elemen kognitif tingkah laku dapat dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi. Hal ini tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elemen tingkah laku karena individu harus punya kontrol yang cukup terhadap lingkungannya.
3.      Menambah Elemen Kognitif yang Baru
Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan dengan elemen kognitif yang lain.

Dengan menambah elemen kognitif yang baru maka disonansi kemungkinan akan berkurang dengan menurunkan tingkatan dari pentingnya disonansi tersebut. Contohnya orang yang merokok dan atau efek negatif dari merokok akan mengurangi disonansi kognitif yang terjadi dengan cara mencari informasi terkait perilaku merokok yang dapat menurunkan disonansi kognitif secara keseluruhan, seperti informasi bahwa konsumsi minuman keras lebih mematikan dari pada perilaku merokok. Lewat cara ini berarti individu juga secara aktif menghindari informasi yang dapat meningkatkan disonansi kognitif yang mereka alami.
Menurut Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) cara mereduksi disonansi kognitif tersebut juga dapat dilakukan lewat rasionalisasi, yaitu meyakinkan diri sendiri bahwa perilaku yang dilakukan saat ini atau di masa lampau semuanya masuk akal dan dapat diterima. Sedangkan menurut Simon, Greenberg, & Brehm (1995, dalam Baron & Byrne, 2000 ) trivialization atau secara mental meminimalisir tingkat kepentingan dari sikap atau perilaku yang tidak konsisten, juga dapat dilakukan sebagai tehnik untuk mengurangi disonansi kognitif yang dialami.


1.10.        Pengertian Persepsi
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafslrkan pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358)
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Dalam hal ini, persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).

1.11.        Pembentukan Persepsi dan Faktor-Faktor yang Menpengaruhi
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991: 108) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari (1984: 12-13) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang penting.
Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998: 55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsl bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli.
Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986 : 54). Selaras dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini Sugiharto 2001: 19)  mengemukakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu dan faktor pribadi. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan faktor pribadi adalah faktor insternal anggota Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
 

1 komentar:

  1. Maaf boleh saya minta daftar pustaka dari resume ini. Resume ini sangat bermnfaat sekali. Terima kasih

    BalasHapus

Semoga yang Komentar masuk Surga